EMPAT PULUH TUJUH

71 12 1
                                    

E N J O Y!

❤❤❤

Liburan semester ganjil sudah selesai. Kini para murid kembali memasuki sekolah dengan semester baru.

"Perasaan liburan cepat banget," ujar Citra. Gadis berseragam khas anak SMA yang dipadukan dengan hijab berwarna putih itu semakin terlihat manis.

Mereka berlima kini mulai mengenakan hijab untuk menutup aurat. Meskipun tidak hijab yang panjang, tapi hijab yang mereka kenakan masih bisa menutupi dada.

"Lama, gue aja nggak sabar buat sekolah," sahut Fauzia.

"Orang pinter sama orang yang otaknya pas-pasan kayak kita itu beda, Cit," sahut Putri.

"Otak lo aja, otak gue nggak," ujar Citra.

"Heh! Dibelain malah ngelunjak!" balas Putri.

"Online shop jadi diambil alih sama Nadia?" tanya Nia.

"Jadi, katanya buat nambah uang jajan dia disana," jawab Elisa.

Beberapa hari sebelum Nadia berangkat kembali ke rumah neneknya. Mereka bertujuh sempat berkumpul di rumah Eka. Tentunya untuk menjenguk Eka sekaligus untuk bertemu karena kangen. Mereka juga membahas bisnis online shop yang sudah lama tidak open pre order. Akhirnya, mereka menyerahkan online shop pada Nadia. Awalnya Nadia ragu untuk menerima tawaran itu, tapi setelah dua hari berpikir Nadia memutuskan untuk melanjutkan bisnis online shop mereka.

"Bagus kalo gitu," ujar Fauzia.

"Sok alim," sahut sebuah suara dari arah belakang mereka berlima membuat mereka menoleh dan mendapati Ranum yang tengah bersama dengan teman-temannya.

"Bener kata orang. Berhijrah memang banyak godaan setan," balas Citra.

"Kalian nggak pantes pakek baju tertutup kayak gitu," sahut salah satu teman Ranum.

"Emang baju lo yang kekurangan bahan itu enak dipandang apa? Mata gue sakit lihat seragam kalian yang kurang bahan itu. Lo mau sekolah atau mau ke club?" kata-kata itu keluar dari mulut Elisa.

"Jangan bicara sembarangan!" pekik Ranum.

"Mendingan lo ke psikeater deh," kata Putri sinis. "Kasihan gue lihat lo teriak-teriak nggak jelas," sambungnya.

Nia menghembuskan nafas menatap satu-persatu sahabatnya. "Nggak usah diladenin. Percuma. Buang-buang energi," ujarnya.

"Maunya gitu. Tapi mereka yang nyari masalah," ujar Citra mendengus pelan.

"Gue ingatin sama kalian lagi terutama sama lo," kata Ranum menunjuk Fauzia. Fauzia tak menganggapi perkataan Ranum dan malah fokus pada ponselnya. "Jangan coba-coba lo dekat-dekat sama Kenad. Atau-"

"Allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta'khużuhụ sinatuw wa lā na'ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi'iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai'im min 'ilmihī illā bimā syā', wasi'a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya'ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-'aliyyul-'aẓīm." Fauzia memotong ucapan Ranum dengan membaca ayat kursi.

Keempat sahabatnya melongo melihat tingkah laku Fauzia. Putri menggeleng pelan dengan tingkah laku Fauzia. Citra sudah hampir tertawa. Nia dan Elisa yang sudah tertawa.

"Lo pikir kita setan!?" ujar teman Ranum marah.

Fauzia menatap Ranum dan temannya dengan tatapan polos membuat Elisa rasanya ingin menampol wajah Fauzia, tapi ia bisa menahannya.

Seven Of Us ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang