Sale 6. Mau pakai panggilan spesial?

168K 17.9K 547
                                    

Pak Bara mengajakku mampir ke minimarket. Bahan makanan memang sisa sedikit saat aku masak untuk sahur tadi, dan agaknya Pak Bara cukup perhatian dengan itu. Satu hal baru yang baru aku tahu soal Pak Bara, dia pecinta makanan sehat. Kebutuhan empat sehat lima sempurna terpenuhi, tidak ada yang kurang.

"Ada yang kamu butuhkan?"

"Nggak ada."

"Yakin?"

Aku mengangguk mantap. Lagipula melihat belanjaan ini saja aku meringis, membayangkan kocek yang akan dikeluarkan Pak Bara hanya untuk makan rasanya terlalu sayang. Mungkin karena hidup kami berbeda. Sejak kecil aku terbiasa hidup terbatas, ingin beli sesuatu harus menahan diri berhari-hari bahkan bulan untuk menabung, setelah cukup baru beli. Itu pun kadang tidak semudah itu, harus ada pengorbanan, belajar merelakan, dan banyak hal lain.

"Suka makan apa?"

"Apa aja," sahutku jujur.

"Nggak pa-pa, Ayna. Biasakan diri sama saya. Apa yang kamu suka, kamu nggak suka, bilang sama saya. Supaya kita segera bisa menyesuaikan diri."

"Itu cukup." Aku menunjuk troli yang didorong Pak Bara. "Memang mau apa lagi, itu sudah banyak banget."

"Kamu suka susu apa?"

"Kan tadi sudah ambil, Pak."

"Tadi putih, siapa tau kamu suka cokelat."

"Itu aja udah."

"Yakin?"

Aku menatap Pak Bara geregetan. "Yakin, yuk pulang. Waktu masaknya semakin sedikit, nanti nggak selesai."

"Saya bantuin."

Aku menarik troli dari depan menuju kasir. Pak Bara menahan sebentar, di deretan biskuit berbagai merek yang harganya saja membuatku langsung meringis.

"Suka ini?"

Semua makanan aku suka, tetapi aku lebih melihat harga.

"Saya nggak begitu suka camilan, makanan seperti ini, di rumah nggak ada. Mau?"

"Nggak usah deh."

Wajahku merengut melihat Pak Bara justru memasukkan beberapa bungkus dengan varian rasa stroberi, cokelat dan vanila, baru kemudian menyuruhku kembali berjalan. Aku kembali ke samping Pak Bara saat mengantre di kasir, mengamati lelaki jangkung dengan tubuh proporsional yang luar biasa bagus itu mengeluarkan dompet dan menyerahkan padaku.

"Bayar ya. Pakai kartu saja, saya malas tarik uang ke ATM terus."

"Bapak aja," tolakku langsung, tak enak menyentuh dompetnya. "Atau pakai uang aku aja." Tenang saja, masih banyak bahkan belum habis separuhnya.

Pak Bara meraih tanganku dan meletakkan dompetnya. Disentuh dia saja rasanya aku langsung panas dingin, apalagi saat mendengar suaranya yang berat berbisik di samping telingaku.

"Jangan panggil saya 'PAK' ya, Ay, kamu seperti mahasiswi yang jadi selingkuhan saya."

Segera aku memukul tangannya di troli. Nyatanya hubungan kami memang tidak sedekat itu. Aku memang cuma pengantin pengganti, yang rela menikah dadakan dengannya dan sangat bersyukur karena lelaki ini bukan penjahat. Sejauh ini, paling tidak dia bukan penjahat. Akan tetapi bukan berarti aku mau jadi selingkuhan juga.

"Makanya jangan panggil 'pak', saya risi dengar istri saya seperti mahasiswa saya."

"Bapak saja pakai saya loh."

"Mau ganti?"

Ya?

"Saya bisa sih, ganti. Tapi agak susah, sudah dari dulu biasa begini. Tapi kalau kamu maunya saya ganti 'aku-kamu' ya nggak masalah, saya coba."

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang