Sale 22. Kamu saya gigit

157K 14.7K 293
                                    

"Ayna."

Aku menoleh cepat pada Mbak Arum, saudara dekat keluarga Pak Bara yang menginap di sini. Dia menggendong bayi usia tiga bulan.

"Kamu bawa Dedek dulu ya, biar Mbak yang masak."

Oh, sebenarnya aku tidak yakin bisa mengurus bayi dengan baik. Namun apa boleh buat, wajahnya gembul dan imut, sejak datang aku sudah geregetan.

"Mandiin bisa nggak, Ay?" Mama menatapku, seperti tidak yakin. Namun nyatanya aku memang tidak yakin bisa memandikan bayi.

"Mas bisa kan, Ma?"

Mama tertawa mendapati aku bertanya begitu. Kemarin sore juga Pak Bara yang memandikannya, aku mana tahu cara mengurus bayi.

"Panggil, suruh mandiin."

Tanpa menunggu lagi langsung kubawa Dedek ke kamar. Pak Bara masih tidur karena semalaman banyak sekali temannya yang datang, sementara aku sudah tepar sejak pukul sembilan. Dulu waktu di rumah sendiri, hari raya tidak pernah ada tamu sebanyak di rumah ini.

Kugoyang lengan Pak Bara tanpa melepas gendongan si bayi. Lelaki itu masih terpejam rapat, bergulung dengan selimut tebal. Baru kali ini dia bangun siang setelah sebulan lamanya kami menikah.

"Pak!"

Dia cuma bergumam rendah, memeluk bantal dan menatapku.

"Bangun."

"Masih jam berapa?"

Bola mataku langsung bergerak kesal. "Jam tujuh."

"Nanti sebentar."

Langsung kuletakkan bayi kecil itu ke samping Pak Bara. Bibirnya bergerak-gerak seperti tersenyum, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya bulat cerah dan kulitnya yang halus membuatku gemas tiada ampun.

"Belum mandi, ya?" Pak Bara bertanya pada si bayi sembari mencium pipinya gemas. "Minta mandiin Auntie. Auntie harus belajar ngurusin bayi, nanti kalau punya Dedek sendiri nggak bisa. Ya?"

Meski kesal, perasaan bahagia lebih mendominasi sehingga aku ikutan menciumi pipinya yang sebelah. Ya ampun, kalau punya sendiri kan, bisa menikmati imutnya bayi setiap hari. Akan tetapi proses buatnya saja baru seminggu lalu, belum tentu jadi juga.

Mungkin pipiku memerah saat membayangkan kami punya bayi sendiri, setiap pagi membuka mata maka ada bayi yang bisa kami lihat lama-lama. Setiap malam dibangunkan dengan suara tangisan bayi. Melihat Pak Bara menggendong bayi saja aku jadi kepikiran ingin cepat hamil.

Sudahlah. Belum tentu keinginanku adalah hal yang baik. Persoalan Airin saja, meski Pak Bara sudah berkata panjang lebar untuk melupakan Airin, aku masih belum tenang. Dua hari lalu aku kaget saat masuk kamar dan melihat Pak Bara memasukkan baju dan beberapa barang lain dari lemari ke dalam kardus. Di kamarnya ini ada satu lemari sudut kaca, yang digunakan untuk menyimpan robot dan beberapa barang. Dan kemarin, banyak sekali yang pindah ke kardus.

Ketika aku tanya kenapa dimasukkan ke kardus, Pak Bara cuma bilang, "Ini semua dari Airin."

Dia kelihatan ragu sekali saat menutup kardus, lalu menatapku kebingungan.

"Harus dibalikin ke Airin?"

Pertanyaannya polos dan menggemaskan, tidak sesuai dengan usianya sama sekali. Jadi tanpa ragu aku mengambil alih kardus, membongkar lagi isinya.

"Baju, pakaian, kan bisa dipakai."

"Udah nggak pernah saya pakai, itu kekecilan."

Senyumku menipis sempurna. Sampai sekarang, kardusnya masih ada di sudut ruangan, besok kalau kami sudah beraktivitas normal, niatku mau menyumbangkannya saja. Toh, Airin tidak tahu ada di mana sekarang, dan kemungkinan besar juga tidak mau menerima kembali barang pemberiannya.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang