Sale 9. Kembali kasih, Dek Ayna

152K 17.4K 333
                                    

Pukul empat di hari Jumat dia sudah sampai di rumah, sementara aku masih berkutat dengan tanah untuk menanam bunga di depan rumahnya. Dia berhenti di teras, melihat kegiatanku, dan sebentar lagi ... pasti sesuatu terdengar dari bibirnya.

"Beli bunga di mana, Dek Ayna?"

Kan .... Melengos, tanganku menekan tanah di pot kuat-kuat. Aku masih ilfil dengan panggilan 'Dek Ayna' yang diucapkan Pak Bara lengkap dengan mata menggoda dan senyum geli.

"Mau Mas Bara bantu?"

Ough ... jijik banget dengar nada bicaranya. Bulu kuduku meremang.

"Sabar ya, Mas masuk sebentar. Dek Ayna jangan cemberut."

Sumpah! Dia kekanakan! Seperti remaja SMA yang menggoda pacarnya. Lebih jelek lagi, seperti om-om mesum yang menggoda anak perawan.

"Dek Ayna."

"Bapak bisa diem nggak, sih?!" sengitku tajam. Pak Bara yang sangat tidak budiman itu tertawa keras, menggeleng pelan.

"Saya mau bantu lho."

"Nggak usah!" Sudah baik aku mau menghiasi rumahnya yang monoton dengan tanaman bunga, dia malah tidak berhenti menggoda.

"Yakin?"

"Paaak!"

"Iya kenapa, Dek Ayna, mau sesuatu?"

"Jangan. panggil. aku. begitu!"

"Terus apa, dong? Sayang?"

Tanganku mengepalkan tanah di pot.

"Sayang mau—"

Kulempar segenggam tanah ke arah Pak Bara, mengenai celana panjang hitamnya. Cukup ya! Aku sudah habis malu, kesal dan dongkol di bulan puasa ini.

Namun lelaki itu, jangan ditanya lagi. Dia asik tertawa sampai akhirnya duduk di teras. Dia tidak tahu kalau aku sedang bernafsu sekali melemparkan pot bunga serta isinya ke kepala nya.

"Enggak. Iya. Serius. Beli di mana bunganya?"

Lirikanku pasti sinis banget saat menjawab, "Nggak usah tanya-tanya!" Dan itu membuat Pak Bara tertawa lagi.

"Jangan di sini juga!"

"Puasa nggak boleh marah-marah lho."

"Nggak boleh juga ganggu orang puasa!"

"Lho memang saya ganggu? Saya kan, tanya."

Tapi ... tanyanya itu nyebelin! Pasti selama aku hidup di rumah ini dia akan awet muda dan aku cepat tua. Dia tertawa terus, aku kesal terus. Tidak adil!

"Sudah ya. Maafin saya. Mau saya kasih sesuatu, masuk dulu."

Aku bertahan berjongkok di depan pot. Masih kurang satu yang belum ditanam, bunga aster kesukaanku.

"Ayo, Ay. Ditanam besok itu bisa."

Bibirku mencebik, masih kesal dengan Pak Bara yang senang menggoda dan mengganggu itu. Namun, melihat wajahnya yang serius, aku mengalah. Kucuci tangan dan kaki di keran, lalu mengikutinya masuk rumah.

"Apa?" tanyaku begitu sampai di dalam. Pak Bara mengeluarkan tasnya, memberikan bingkisan padaku.

Aku buka dan mendapati satu dress maroon. Masih ada lagi, ternyata kotak berisi satu paket cincin, anting-anting dan kalung.

"Buat aku, Pak?" Dia mengangguk. "Tapi kenapa?" Maksudku, dalam rangka apa?

"Ada yang nggak kamu suka?" Dia malah balik tanya. "Itu saya pilihnya kira-kira. Muat enggak sama kamu, coba."

"Aku nggak ulang tahun," ucapku kebingungan, tetapi tetap membuka kotak dan memasang cincin. "Agak kebesaran."

"Nanti bisa ditukar."

"Tapi kenapa?"

"Kebesaran, ya ditukar."

"Maksudnya kenapa tiba-tiba kasih ini?"

Dia duduk di sebalahku, menggulung lengan kemejanya sampai siku. "Saya belum pernah kasih hadiah ya," katanya. Aku mengerut, uang itu hadiah, kan? "Saya nggak bisa membayar kerelaan kamu buat jadi istri saya dengan apa pun."

Aku menatap Pak Bara, jaga-jaga kalau dia sedang bercanda.

"Makasih ya, sudah mau jadi istri saya."

"Pak Bara keseringan bilang terima kasih," balasku seadanya. "Sampai aku lupa bilang terima kasih juga."

Senyumnya muncul lagi, tetapi kali ini bukan senyum mengejek seperti biasanya. Ini senyuman tulus yang membuat aku terpana dan hampir tersipu.

Beberapa saat aku masih menatapnya, dia masih mempertahankan senyumnya. Perlahan tapi pasti, pipiku memanas dan mungkin beberapa detik lagi mulai memunculkan semburat merah. Segera kualihkan perhatian ke hal lain.

"Bajunya?" Aku berdeham demi mengurangi rasa gugup.

"Besok pakai aja, ke rumah Mama. Saya sudah beli couple."

Oooh. Kuhela napas pelan saat Pak Bara terus saja menatapku. "Apa, sih, Pak?"

"Apa?"

Kalau dia mau memanfaatkan keadaan untuk mencium pipiku lagi, aku jamin kali ini akan gagal. Akhirnya aku memilih membuka kotak, mengambil kalung dan memasangkan ke leher, lalu menghadapnya lagi.

"Terima kasih." Kutarik bibir lebar.

"Kembali kasih, Dek Ayna."

"Jangan panggil begitu lagi nggak bisa?"

"Bisa," jawabnya geli, "tapi saya nggak mau."

Aku melengos lagi, memberinya kesempatan untuk kembali menertawakanku.

***

Rumah orang tua Pak Bara berada cukup jauh dari rumah Pak Bara sendiri. Kami berangkat pukul empat sore dan baru sampai setengah enam. Padahal jalanan tidak macet banget.

Aku sudah bilang padanya agar sampai di rumah Mama sebelum Mama selesai masak masak, jadi aku bisa bantu-bantu. Namun rupanya dia ada pekerjaan yang cukup menyita waktu sehingga kami baru sampai menjelang maghrib begini. Senyumku tak enak karena datang di saat semuanya sudah selesai. Seharusnya Pak Bara tahu bahwa aku butuh citra baik di sini.

"Pulang senin kan, Bar?" tanya Mama setelah kami selesai sholat.

"Iya, nanti pagi."

Kami duduk di meja makan. Mama masak banyak banget hari ini sampai aku harus bingung mau makan yang mana. Aku ambilkan nasi lebih dulu untuk Pak Bara. Skenario ini sudah aku susun matang. Saat makan aku akan siapkan untuk Pak Bara lebih dulu, baru kemudian untukku sendiri. Memanggil Pak Bara dengan Mas Bara dan menghilangkan wajah judes untuknya.

"Sudah itu saja," interupsi Pak Bara setelah aku mengisi piringnya dengan nasi, ayam dan tahu bacem.

Aku ambilkan pula air putih satu gelas. Pak Bara saat makan hanya mau air putih, setelah itu baru dia mau minum yang lain.

"Nanti Ayna di sini dulu aja, biar Bara pulang sendiri."

Aku langsung menoleh dengan wajah gugup.

"Nggak kuliah, kan?"

Enggak, sih. Pengangguran. Hanya saja—

"Nanti ke rumah saudaranya Bara dulu."

"Lain kali aja," Pak Bara langsung menyela, padahal dia sedang minum. "Nanti sama aku sekalian, setelah lebaran. Besok pulang aja."

"Ayna?" Mama menatapku meminta jawaban.

"Iya, nanti sama M-as Bara saja, Ma."

Wajah Mama langsung terlihat kecewa, berbanding terbalik dengan Pak Bara yang terlihat acuh, malah menarik tanganku agar duduk dan segera makan. Ya ampun, aku tidak enak sekali dengan Mama, tetapi di sisi lain aku belum siap di sini tanpa suami.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang