Sale 17. Jika nonton dan bacanya sudah selesai, segera kabari saya

183K 16.7K 1.5K
                                    

Aku melirik ujung sepatunya yang mengilat. Wajahnya, jangan harap ramah dan penuh godaan seperti sebelumnya, pasti sekarang sinis tiada ampun. Pagi paling sialan selama kami menikah jatuh pada hari ini.

"Bapak puasa loh," ucapku memecahkan keheningan antara kami. Pak Bara balas menatapku sinis, kan ....

"Terus?"

"Ya nggak boleh marah terus."

Dia diam saja, mengancingkan lengan kemejanya. Ugh, ganteng, tapi jahil dan ngambekan. Perasaan ingin meremas rudalnya seperti semalam menguap. Gigiku beradu gemas dengan wajah memanas malu.

"Sudah besar kok ngambekan."

Sudahlah, aku juga butuh melakukan banyak hal, bukan hanya membujuk agar Pak Bara berhenti marah.

"Dikira hidup cuma buat minta maaf."

Pintu kubuka lebar-lebar. Namun, kain masih berserakan di depan pintu. Aku mendengus kesal.

"Jangan diambil!"

Suaranya menggema galak, membuatku yang baru menunduk untuk mengambil pakaian kami semalam langsung batal.

"Ya mana mungkin aku biarkan berantakan terus? Kotor, harus dicuci."

"Pokoknya jangan bereskan."

"Bapak nggak lihat ini berantakan? Kotor?"

"Jangan diambil!"

Sudahlah. Terserahnya saja. Kulewati kain-kain itu begitu saja, menuruni anak tangga dengan gerutuan sebal. Bukan salahku kalau tidak bisa melakukan oral seks dengan baik. Ini pertama kali. Aku gemetaran memegang tembaknya yang mengacung tegak bagai tombak. Dia malah menyuruhku memuaskan dengan tangan dan mulut.

Aku salah, sudah meremasnya kekencangan sampai Pak Bara menjerit tanpa ampun.

Gairahnya sirna, ganti dengan marah yang belum reda sampai sekarang.

Itu bukan salahku, salahnya yang tidak sabar dan kelewat mesum. Pokoknya bukan salahku.

Sampai di anak tangga terakhir, telingaku mendengar langkah kakinya. Aku enggan menoleh, dia pun pasti lurus ke depan.

"Assalamu'alaikum."

Lho? Rencana untuk tidak menoleh pun gagal. Siapa tamu di pagi hari begini? Aku langsung bersiap jalan ke depan, membuka pintu. Namun tubuhnya menghadang di tengah ruangan, mendelik.

Apa? Tak rela juga aku membuka pintu? Baju tidak boleh dibereskan, buka pintu juga tidak boleh. Lalu bolehnya apa?

"Selamat pagi, Pak."

Akhirnya aku cuma berhasil mengintip dari balik tembok.

"Siapa?"

"Maaf, Pak. Saya Doni, mahasiswa bimbingan Bapak. Saya datang ke mari untuk menyerahkan hard copy hasil revisi saya."

"Masuk."

Bibirku mengerut, tak bisa memandang wajah Pak Bara saat dengan mahasiswanya. Namun terdengar kaku dan menyebalkan, atau itu karena dia sedang dalam mood buruk hari ini?

Entahlah, aku cuma berharap semoga mahasiswanya selamat di pagi yang buruk ini.

"Pesan saya sudah dilakukan semua?"

"Sudah, Pak."

Lelaki itu sudah duduk di sofa. Aku berpikir keras, apakah harus membuatkan minuman atau tidak. Namun mengingat sedang puasa, niatku itu lenyap. Baiklah, tak apa.

"Susunan kalimatnya dikoreksi lagi. Kamu belajar Bahasa Indonesia?"

Oh, siapa siswa yang tidak belajar Bahasa Indonesia, wahai Bara Budiman yang sangat tidak budiman? Kami, para mahasiswa, mempelajarinya dari TK sampai kuliah, dengan materi yang diulang-ulang tapi terasa tetap susah. Bukankah engkau juga pernah menjadi siswa yang budiman, sudah sampai S3 di Luar Negara?

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang