Sale 35. Cocok kan, jadi suami?

115K 11.8K 348
                                    

Pintu terbuka lagi olehnya. Mungkin sudah puluhan kali dia membuka pintu, melongok ke dalam dan menutupnya lagi. Sejak subuh tadi, tidak juga berhenti kegiatan itu. Sementara aku masih belum selesai dirias, ditemani Naomi dan Gia yang datang bahkan sebelum subuh.

"Laki lo kenapa dah, Ay, kaya orang kebelet beol tapi antri kamar mandi."

Naomi nyeletuk seadanya, mungkin heran banget. Aku menebak Pak Bara betulan gugup. Bangun pukul tiga tadi, dia menggedor pintu kamar yang sengaja aku kunci.

"Jangan kesiangan!" katanya sama sekali tidak santai. Padahal masih jam tiga, Mama saja sampai kaget dia bangunkan.

"Nggak sabar kali," sahut Gia.

Ponselku berdenting pelan. Sembari menahan diri agar tidak bergerak, aku membuka pesan yang baru saja masuk.

Hubby
Ay ....

"Jangan nunduk ya, Mbak," interupsi perias saat tanpa sadar kepalaku menunduk. Aku kembali menegak, hanya mata yang berusaha melirik ke ponsel, mengetik balasan untuk Pak Bara. Belum selesai mengetikkan balasan, pesannya sudah masuk lagi.

Hubby
Saya gugup.

Benar apa kataku. Tadi tangannya sampai dingin dan berkeringat. Belum lagi mengeluh pada Mama saat diminta sarapan.

"Mual," katanya dengan raut cemas. Untungnya Mama bisa membujuk sampai dia mau sarapan meski sedikit. Meski pernikahan kali ini hanya agama, tetapi prosesi mengikuti adat Jawa akan tetap berlangsung. Lama dan pengap, menguras tenaga. Kemungkinan siang hari nanti baru akan selesai. Jadi bagaimana pun, dia harus sarapan kalau tidak mau pingsan di tengah acara.

Belum lagi aku membalas, pintu kembali terbuka. Kali ini Mama yang masuk, melihatku sebentar.

"Naomi bantu benerin pasang bunga di depan bisa?"

"Bisa-bisa. Sama Mas yang tadi nggak, Nte?"

Mama mengerutkan keningnya bingung. "Mas siapa?"

"Yang tadi pasang lampu di depan ituuu, masih di sana, kan?"

Wanita tua itu menggeleng pelan. "Sudah ayo, Gia juga."

Mereka meninggalkan kamar. Bagian mana yang dibetulkan aku juga tidak tahu, karena sepertinya semua sudah siap. Hanya acara yang ditunjukkan untuk keluarga besar, tidak mengundang siapa pun. Bahkan teman Pak Bara pun hanya dua orang yang diminta menemani.

Dan pintu terbuka lagi. Wajahnya yang cemas dan gelisah terlihat sedikit lega saat memutuskan masuk kamar. Dia duduk di tepian kasur, sementara aku duduk di kursi menghadap cermin.  Aku belum bisa menoleh atau mengajaknya bicara selama masih dipoles dengan berbagai jenis make up.

"Jangan disentuh dulu, ya. Tinggal kamar mandi sebentar."

Untungnya, seolah tukang rias itu sengaja memberi ruang. Begitu dia meninggalkan kamar, baru aku bisa menatapnya.

"Masih gugup?"

Dia tersenyum masam. Memakai kemeja putih dan celana hitam, lengkap dengan dasi juga. Tadi sama Mama juga dibawakan peci. Bukan main gantengnya saat memakai jas dan peci secara persamaan.

"Saya mau minum," katanya rendah. Dia mendekat, berjongkok di depanku. "Tapi dari tadi sudah ke kamar mandi. Sama Mama nggak boleh minum lagi."

Hawa panas terasa menyergapku. Sebisa mungkin aku menahan tawa mendengar kalimatnya. Kepalanya bersandar di pahaku dan tangannya meraih tanganku.

Dingin, basah.

"Minum aja, nih," kuambilkan botol air mineral di meja. Dia menenggaknya tak kira-kira, sampai mau habis. Wajar saja bolak-balik kamar mandi kalau sekali minum sebanyak itu.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang