Sale 54. Rasanya aku memang cuma orang asing yang berhak dia perlakukan semaunya

92.5K 14.1K 1.1K
                                    

"Ay."

Aku mendongakkan kepala, berhenti menekuni kertas berisi berbagai contoh yang masih sering aku baca saat mendengar suara Ken.

"Hai!"

Bersama Gia. Gila! Cepat banget perkembangan hubungan mereka. Baru beberapa hari lalu aku temukan mereka di sini, sekarang sudah muncul lagi di sini bersama-sama.

Dan ... oh, apa baju couple itu? Keningku berkerut dalam mengamati penampilan mereka. Sama-sama pakai baju hitam?

"Kalian berdua sengaja?"

"Sengaja buat?" tanya Gia kebingungan. Aku mengedik, memintanya memperhatikan bajunya dan Ken.

"Ih, enggak sengaja kok."

Oh ya? Aku kurang percaya. Namun, kalau tidak janjian, tidak mungkin kan, Ken tahu apa yang dipakai Gia? Pasti memang tidak sengaja.

"Kok bisa serasi gitu."

"Ya gampang lah, cuma mau baju samaan." Aku menipiskan bibir mendengar balasan Ken. "Rasa yang sama aja, gampang. Ya, nggak?"

"Enggak."

"Tega."

"Terserah. Mana, katanya mau cobain menu baru sama Ayna."

Pasangan yang serasi. Kulihat Ken keluar lagi setelah cengengesan. Bos tidak ada harga dirinya banget, enggak, sih? Sikapnya bahkan seperti orang yang suka bercanda. Cengengesan sama karyawan. Aku belum pernah lihat dia evaluasi karyawan, sih, mungkin bisa tegas.

"Nggak kerja?" tanyaku pada Gia.

"Enggak. Gue resign."

"Baru sebulan kerja?"

"Iya. Nggak betah, sih."

"Kenapa?"

"Ada nggak nyaman banget pokoknya. Jadi, gue resign. Untung banget ada sodara gue di sana, jadi gue kemarin kerja di sana nggak pakai kontrak tetek bengek."

"Seenaknya. Dapat kerjaan mudah, malah resign."

Gia meringis lebar. Pembicaraan kami berhenti saat Ken masuk lagi dengan sepiring menu yang ditutup penutup makanan transparan berbentuk setengah lingkaran. Dia meletakkan makanan itu di meja.

"Tampilannya udah keren belom?"

"Udah. Cepetan buka."

"Eh!" seru Gia menahan tangan Ken yang akan membuka. "Bentar, Ayna pakai masker dulu. Bumil kan, sensitif sama bau."

Aku mengerjap, kenapa semua orang meyebutkan bahwa aku hamil?

"Gue gendut banget, ya?" tanyaku sambil mengamati lengan dan pinggang. Sepertinya iya deh.

"Ih, ya wajar gendut orang lagi hamil."

"Gia—" aku menutup hidung saat Ken membuka penutup makanan tiba-tiba. Aromanya menyeruak, menyengat, dan keras. Ya ampun. Gejolak dalam perutku seperti terpanggil. Mual. Tak pikir panjang aku meninggalkan kursi dan masuk kamar mandi.

Ough ... berhenti. Kuusap perut pelan. Kenapa sensitif sekali? Saat kucek dulu, negatif. Aku mengingat tanggal, sudah lewat dua minggu dari jadwal menstruasi.

"Ay? Muntah enggak?"

"Enggak." Aku mendesah. Mungkin ada baiknya cek lagi nanti.

"Nggak pa-pa, kan?"

"Enggak. Ini mau keluar." Kuhidupkan keran dan membasuh wajah. Sensitif bau, rasa kesal, mood swing, bukannya semua itu biasa dialami ibu hamil? Airin juga bilang hal yang sama.

Namun kemarin negatif. Aku merutuk kesal. Kasihan sekali anakku tumbuh di saat aku dan Pak Bara bertengkar hampir setiap hari. Mendadak rasa kesal menjalar mengingat lelaki itu. Airin bilang, mengalah saja. Nanti Bara bakal marah, dan berakhir minta maaf.

Aku sudah minta maaf, sudah mengalah, mengikuti apa maunya meski dibentak, tetapi dia tidak luluh. Bego! Kenapa aku harus mengalah terus sama lelaki seperti itu?!

"Ayna?"

Kuusap lagi wajah dengan air keran, lalu menutupnya. Setelah bercermin, menatap pantulan wajahku yang terlihat agak tembam, aku keluar kamar mandi. Gia memandangku khawatir.

"Enggak pa-pa, kan?"

"Enggak."

Aroma makanan tadi juga hilang, hanya sisa pewangi ruangan. Mungkin Ken mencobanya di bawah saja karena aku tidak bisa lagi sekarang.

***

Kusemprotkan pelicin pakaian ke salah satu kemeja Pak Bara, lalu menempelkan setrika panas di atasnya. Iya, sekarang aku harus menyetrika baju malam atau sebelum subuh. Pagi mana sempat. Cuci baju, ngepel dan nyapu, masak. Kupikir-pikir lagi, sekarang sangat cepat merasa lelah. Malam saja gampang ngantuk dan tidur.

Namun aku tidak mau ambil risiko memakai test pack malam hari lagi. Sudah kubeli beberapa jenis tadi. Siapa tahu yang dulu kurang sensitif, atau malah belum terdeteksi hamilnya.

"Nggak usah disetrika semua."

Aku mendesah pelan mendengar suaranya. Harus mengalah lagi? Sampai kapan? Sudah tiga malam ini kami perang dingin. Usahaku sia-sia. Bara Budiman itu tidak berpikir bahwa selain dia, ada manusia lain yang juga punya perasaan.

Sejak pagi tadi kekesalanku memang memuncak padanya. Apa senangnya aku tanya tidak dijawab, tetapi sekali bicara dia seperti orang bentak. Dia lupa, bukan cuma aku yang salah.

"Kamu nggak dengar?!"

"Dengar."

"Tinggalin baju itu."

Cuma satu, nanggung.

"Ayna!"

Pegangan tanganku pada setrika mengencang begitu saja. Kalau aku setrika mulutnya, dia pasti diam!

"Saya bilang apa, Ayna?!"

"Ya terus siapa yang setrika?!"

Gigiku beradu kuat tanpa berani menatapnya. Sekali tatapan, aku bisa kalah ribuan kali. Dia punya kuasa di sini. Dan aku sangat sadar begitu lemah dengan wajahnya yang menegang.

Aku saja yang salah. Dia merahasiakan apa pun soal mantan, tidak salah. Aku yang salah sudah mencari tahu dan kepo. Seharusnya tidak perlu. Cuma pengantin bayaran, tugasnya jadi istri yang nurut dan melayani suami. Dapur sumur kasur! Tidak perlu tanya soal mantannya, tidak perlu tahu soal apa saja yang dia lakukan di luar. Terserah!

"Kamu tuh, nggak mikir!" sentakku tanpa menoleh. "Yang capek bukan cuma kamu. Aku tiap hari mikir kamu kira nggak capek? Aku tanya nggak dijawab, aku cari tau sendiri kamu marah. Apa-apa suruh bilang."

Suaraku serak beriringan dengan air mata yang menetes. Sesak banget, ya Tuhan, dia yang manis banget ternyata punya sisi seperti ini.

"Kamu ngajarin aku yang benar dan salah, minta aku terbuka tapi kamu sendiri nggak kasih aku tau apa-apa."

Belum lagi soal Airin yang kabur, entah benar entah salah. Aku merasa paling bodoh sendiri. Bisa-bisanya mau menikah hanya demi uang. Gia benar, harusnya tidak perlu gila cuma perkara rumah yang mau disita bank. Seharusnya, kenali dulu pasangannya, baru memutuskan mau menikah atau tidak.

Kucabut setrika dari sumber listrik dan meletakkan di pinggir meja. Turuti apa katanya. Sudah, ya sudah. Perkara besok harus bekerja lebih keras karena banyak yang harus disetrika, urusan besok.

Aku mengangkat keranjang baju, membawanya masuk kamar. Terserah dia yang masih bergeming. Siapa yang peduli lagi sekarang. Siapa yang mau terus-terusan mengalah. Pasangan bukan seperti ini ....

Kuusap pipi yang sudah basah. Ya Tuhan, kenapa lepas kendali di saat begini? Seharusnya aku memang mengalah sampai dia luluh. Kalau sekarang, mungkin dia semakin marah. Akan tetapi sakit banget setiap saat didiamkan, dibentak. Rasanya aku bukan orang penting. Bukan orang yang pernah dia puja di ranjang, pernah dia janjikan kebahagiaan.

Rasanya aku memang cuma orang asing yang berhak dia perlakukan semaunya.

Setelah membereskan baju ke lemari, aku masuk kamar mandi. Mencuci muka dan kaki. Belum ada pukul sembilan, tetapi aku sudah enggan melakukan apa pun.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang