Sale 36. Mana bisa saya bunuh sebelum saya nikmati semuanya?

115K 12.4K 384
                                    

"Nggak bisa tidur, ya?"

Mataku terbuka lagi, menatapnya yang berusaha terpejam. Namun, melihat keringat yang keluar sampai rambutnya basah, aku yakin dia tidak bisa tidur nyaman di sini. Panas dan tidak ada kipas angin. 

"Sempit," katanya. 

Benar, kan. Tadi aku sudah izin tidur di rumah saja karena rumah ini juga penuh, dan alasan utamanya, pasti Pak Bara tidak bisa tidur nyenyak. Namun, dia sendiri yang ngotot mau tidur di sini.

"Sebentar aku pinjamin kipas angin."

"Nggak usah."

"Ya nggak bisa tidur sampai besok kalau gini. Cuaca memang lagi panas, sampai subuh masih tetap panas."

Dia mendesah, tetapi tetap menahanku agar diam di kasur yang ukurannya tak seberapa ini.

"Nggak enak. Nanti kalau sudah ngantuk banget tidur sendiri."

Bibirku menipis, ya sudah, terserah saja. Kalau aku sudah tidak terlalu kaget dengan kehidupan seperti ini, malah agak kaget sewaktu 24 jam di rumahnya karena ada AC.

Aku menggeser badan ke pinggiran agar menyisakan ruang untuk tubuhnya mendapat pasokan angin yang cukup.

"Bapak dulu kerjanya apa?"

"Bapakku?" tanyaku tak yakin, dia bergumam kecil. "Kerja bangunan."

"Ibu?"

"Nggak kerja, sakit-sakitan."

Dia diam lagi selama beberapa menit. Saat aku menoleh, matanya masih terbuka lebar. Padahal aku yakin dia sedang menahan kantuk. Kemarin malam tidurnya hanya beberapa jam. Sudah begitu, hari ini cukup lelah.

"Aku pinjamin kipas aja, ya?"

Dia masih yakin menggeleng. Lihat saja, mungkin dia baru bisa tidur hampir subuh nanti.

"Aku udah ngantuk banget lho."

"Nggak bisa tidur juga?"

"Ya bisa. Tapi Bapak kan, nggak bisa."

Dia menggaruk pelipisnya, meringis kecil.

"Mau dipeluk?"

Spontan bola mataku berputar. "Gini aja panas mau peluk, bisa-bisa meledak."

"Nggak ada teori begitu," balasnya pelan. Aku melirik malas. "Kecuali panasnya sudah sangat panas sampai tubuh kita tidak bisa menampung energinya."

"Ya terus Bapak harus ngasih kuliah di jam segini saat begini?" Aku memotongnya cepat, please, bisa-bisa otakku berasap.

"Kamu yang mulai."

Ya, terserah saja. Lain kali aku akan menahan apa-apa saja yang keluar dari mulutku. Jangan sampai memancing dia memberikan kuliah dadakan. Kuposisikan bantal lebih nyaman, mencegah kalau-kalau aku akan terjatuh karena tidur terlalu di pinggir.

***

Sampai di rumah, dia langsung melemparkan diri ke kasur. Mungkin balas dendam mau tidur karena semalam dia betul-betul tidak mampu tertidur. Bahkan saat aku terbangun, dia telentang di lantai keramik. Untung aku segera sadar dan memintanya pindah sebelum terserang masuk angin.

"Jam sembilan bangunin ya," pesannya, sudah memeluk bantal dan guling. "Saya harus ke kampus."

"Memang udah nggak libur?" tanyaku heran.

"Libur terus hutang ngajar saya makin banyak, jatah liburan saya semakin habis."

Kasihan. Dia tidak bisa libur seenaknya, bahkan Minggu pun, pernah berangkat ke kampus. Kok ya ada mahasiswanya yang mau disuruh masuk hari Minggu. Kalau aku, jelas pilih bolos. Jadi dosen seenaknya. Namun melihat Pak Bara, aku jadi berpikir ulang. Ternyata bukan hanya mahasiswa yan capek, dosen pun sama lelahnya.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang