Lima tahun berlalu. Anak kami kembar. Upin dan Ipin, dan kini aku mengandung anak kedua yang hasil USG menunjukkan berjenis kelamin perempuan. Kali ini Pak Bara yang tidak budiman itu jangan harap bisa melarangku memberinya nama Mei-Mei.
Kubenturkan kepala ke bantal mana kala mengingat mimpi barusan.
Lima tahun berlalu?! Bahkan pernikahan kami belum dua bulan. Bagaimana bisa aku memimpikan hidup bahagia, dengan anak kembar yang lucu dan menggemaskan, dan suami pengertian.
Bahkan dia tega memaksaku pulang dalam keadaan kurang fit. Sepanjang jalan mobil itu hanya diisi suara bising dari jalanan. Aku meringkuk di jok belakang dan dia menyetir tanpa peduli keadaanku.
Sekarang setelah sampai rumah dan aku menyempatkan istirahat, wajahnya yang entah kenapa sangat menyebalkan itu muncul di kamar sebelah kamar kami biasa tidur. Seperti saran Pakde, sampai ijab ulang dilakukan kami harus tidur pisah. Sebagai istri yang malas memancing keributan, aku memilih langsung membereskan kamar di sini.
"Obatnya nggak diminum?"
Aku mendesah lesu, duduk di bibir kasur dan menatapnya yang menyodorkan obat.
"Kalau sakit ya obat diminum. Bukannya nggak diminum. Nggak mau sembuh?"
Bibirku menipis dengan perasaan ingin membalas. Mungkin dia tidak tahu kalau sakit haid ini bisa sembuh dengan sendirinya. Semalam pun aku akan pulih lagi. Namun alih-alih menjelaskan, kuputuskan untuk mengambil obat dan berjalan keluar.
Belum ada apa pun di dapur. Begitu sampai tadi dia memilih membereskan baju kami, sebagian sudah dijemur. Kuambil beberapa bahan untuk memasak nasi goreng. Terserahlah dia suka atau tidak.
***
Paling tidak, kini sudah lebih bersih dan rapi. Aku menghempaskan diri ke kursi. Sapu dan alat pel tergeletak di sebelahku. Ketika melihat kaca yang tampak buram dan kusam, aku mendesah lagi. Astaga, kenapa harus di saat aku datang bulan? Pas gampang capek, gampang marah dan rasanya cuma ingin tidur di atas kasur yang empuk.
Sedari pagi aku sudah membersihkan rumah Pak Bara. Siangnya aku sudah tidak tahan untuk datang ke rumah sendiri. Cat yang memang sudah kusam semakin terlihat kusam. Belum lagi rumput yang tumbuh di halaman, bunga yang tak terurus dan banyak mati, dan barang-barang yang sama buruknya.
Sudah pukul empat dan aku baru menyelesaikan beberapa hal. Sepertinya lebih baik tidur di sini dulu. Aku pikir lagi, sebaiknya beberapa kali aku memang tidur di sini, mencegah rumah ini dihuni mahluk lain yang tak terlihat.
Sudahlah. Pikirkan itu nanti. Pikiranku boleh saja bilang begitu, tetapi ada suami yang tukang ngambek dan kalau sudah tidak mau bicara sampai dua hari juga betah. Aku yang kesal sendiri. Bolak-balik papasan, dibuatkan kopi, dimasakkan, disuruh makan, tetapi masih saja tidak mau mengalah.
Baru saja akan mengambil gagang sapu, ponsel di sakuku berbunyi panjang. Nama Pak Bara tertera, membuatku berdecak lagi saat ingat kami sudah diam-diaman dua hari ini.
"Halo."
"Kamu di mana?!"
Ough, astagaaa! Baru saja bicara pun suaranya sudah sekeras itu.
"Di rumah," jawabku berusaha tetap tenang.
"Nggak perlu bohong. Saya sudah di rumah dan kamu nggak ada. Kamu pergi sama siapa?"
Serta-merta bola mataku berputar. Dasar tukang tuduh.
"Di rumahku. Bersih-bersih," jawabku seadanya, dan mematikan panggilan tanpa mau mendengarnya lagi.
Entahlah. Apakah bahasan soal Airin begitu menyakiti perasaannya sampai dia betul-betul bertahan mendiamkan aku. Dia memang penyabar sekali, tetapi yang kemarin sama sekali tidak. Apa salahnya pertanyaanku? Tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romansa❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...