Sale 42. Aku siap loh, nggak keluar dari kamar

124K 12.4K 333
                                    

Aku terbangun oleh kecupan-kecupan ringan di sekujur wajah. Pipi, dagu, mata, dahi sampai bibir. Usai berdecak kesal, kudorong apa pun yang mengusik tidur sepagi ini.

"Pagi."

Keningku berkerut dengan kepala berpikir keras. Perasaan baru tidur beberapa menit, kenapa sudah pagi?

"Bangun."

Mataku terbuka meski susah payah. Sesuatu yang dekat tengah melengkung. Aku yakin mengartikan bahwa matanya secerah matahari. Ini tidak berlebihan, memang matanya secerah itu. Apa yang telah membuatnya sebahagia ini di pagi hari?

"Ay."

"Hari apa?"

"Hari rabu."

Aku mengerut. Bukan weekend, dan barangkali dia akan sangat sibuk hari ini. Tanggung jawab di kampus dan tanggung jawab pada bisnisnya sendiri pasti memakan banyak waktu dan tenaga.

Pikiranku dihentikan dengan kecupan di sekitar pipi. Ya Tuhan, bau jigong! Bisa-bisanya dia melakukan cium-cium begitu saat wajahku belum tersentuh air sama sekali. Segera aku mundur, menatapnya protes.

Belum sempat mengatakan apa pun, nada dering ponselku berbunyi nyaring. Aku mengerjap, pukul berapa sekarang sampai ada yang menelepon? Tangannya lebih dulu menyambar ponsel di nakas.

"Ken?" gumamnya tak yakin. Bibirku melengkung ke bawah, dan sesaat kemudian mengerut dengan mata melebar menyadari dia tengah mengangkat panggilan itu.

"Ayna."

Suaranya kedengaran nyaring karena Pak Bara mengaktifkan loud speaker.

"Gimana? Maaf maaf telepon subuh begini. Kalau mau gue jemput, biar nggak usah keluar ongkos."

Salah satu alisnya naik dengan mata lurus padaku. Agaknya aku mencium sesuatu yang tidak baik di sini.

"Ay? Sudah bangun, kan?"

Bibirku tergigit dengan mata yang masih mengerjap-ngerjap kaget. Kuraih ponsel di tangannya dan dia melepas begitu saja. Lantas, kutempelkan ke telinga setelah mematikan loud speaker.

"Nanti ya, Ken. Gue berangkat sendiri aja."

"Loh, gue jemput aja kali. Lumayan kan."

Lumayan di ongkos, tetapi suamiku pasti mampu kalau hanya memberi ongkos. Lagipula ....

"Gue nggak bisa hari ini. Gimana?"

Suamiku, belum memberi izin, dan aku ragu akan diberi izin.

"Serius? Ya udah deh, besok nggak masalah. Gue tungguin lo sampai mau nih."

Aku meliriknya, untung dia tidak dengar. Kalau dengar bisa-bisa perang dunia terjadi.

"Ya ya udah deh."

"Sip. Tidur lagi lo."

Aku bergumam rendah dan segera mematikan panggilan. Dia, jangan ditanya, sudah menatapku penuh selidik. Mana wajahnya yang manis dan kecup-kecup wajahku tadi? Mana tatapannya yang bersinar secerah matahari? Semuanya berubah butek hanya karena satu panggilan.

"Ken temanku, lho," ucapku pelan, sembari bangkit dari kasur. Hari masih gelap, tetapi tentu saja, setelah pertempuran yang panjang, kami harus mandi.

"Teman, serius. Jangan curigaan ih."

"Teman apa yang telepon istri orang pagi begini?" balasnya dengan nada tajam.

Aku mesem rendah, ya ampun. Kupikir, Ken pasti belum tahu kalau aku sudah menikah. Dia tidak suka bermedia sosial sampai-sampai suatu hari saat di bisnis papanya sang admin media sosial resign, dia meminta salah satu teman kami untuk menggantikannya. Buruknya, dia juga tidak pernah melihat status WhatsApp-ku, dan lebih buruk lagi, mungkin grup angkatan yang pernah heboh karena Naomi dan Gia mengirimkan foto pernikahanku, juga tidak dia buka.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang