Sale 44. Sabar ya, anak manis. Papa kalau marah memang lama

103K 11.5K 320
                                    

Aku menuruti kata-katanya, tentu saja, atau dia akan bertahan dengan perasaan marah dan kesal itu. Selepas membersihkan diri, memastikan bahwa aromaku wangi, kuberanikan diri menengok keberadaannya. Tidak ada di dapur dan pintu kerjanya tertutup. Kutengok di luar rumah, benar saja dia ada di sana, sedang memegang gunting dan memotong beberapa daun kering di tanaman bungaku.

"Sudah?" tanyanya tanpa menoleh. Bibirku mencebik, duduk di pinggiran teras rumah.

"Saya nggak berharap kamu bertengkar dengan Naomi ataupun Gia."

Memang tidak, tetapi ada—teringat Airin membuatku langsung mengedarkan pandangan. Di mana dia bersembunyi sampai aku tidak sadar keberadaannya?

"Ayna."

"Hem?"

"Siapa yang kamu maksud mau bertamu?"

"Nggak ada ...."

"Apa saya harus bilang kalau kemampuan berbohong kamu buruk sekali?"

Aku mendesah panjang. Masalahnya, ini mengerikan. Bahasan soal Airin membuatku was-was. Bagaimana kalau niatnya menemuiku tidak baik? Misalnya dia ingin mencelakaiku. Lagipula, bukankah dia sudah pindah rumah? Kenapa masih di sini? Ngotot ingin bertemu denganku pula. Ish, aku betul-betul tidak suka dengan Airin. Sekalipun misalnya dia sampaikan ingin menjadi temanku, kupastikan untuk menolak niat baiknya.

"Saya nggak izinkan keluar lagi kalau masih nggak mau ngomong."

Aku berdecak kesal. "Terserah Bapak saja."

"Di sini saya sebagai suami kamu, Ayna. Jangan lupa."

Ya masalahnya .... aku menunduk dalam. Iya, dia suamiku, dan aku takut karena ada Airin hal buruk akan terjadi pada hubungan kami.

"Kamu sama sekali nggak menghargai saya dengan nggak mengatakan apa pun masalah kamu."

Dia berhenti memotong daun yang sudah kuning dan beranjak dari deretan bunga, duduk di sampingku.

"Sepenting apa sampai saya nggak boleh tahu soal ini?"

"Nggak penting."

"Ya kalau nggak penting berati saya boleh tahu. Kan, nggak penting. Orang satu Indonesia tahu juga nggak masalah karena itu nggak penting."

Aku menatapnya sendu. Dia memang mengabaikan Airin, dan jelas-jelas sekarang suamiku, milikku, dan prediksi aku hamil anaknya. Akan tetapi tetap saja aku takut. Perasaan, pikiran, dan sikap orang bisa berubah secepat kilat. Apalagi lelaki, bisa saja dia berpaling pada wanita lain.

"Lain kali aku kasih tahu."

"Kasih tahu kalau semuanya sudah jadi penting dan berakibat fatal. Begitu?"

"Enggak ...." Dia ngotot banget, aku tahu itu sebagai bentuk perhatiannya. "Jangan sekarang."

"Sekarang."

"Enggak mau."

"Kamu ngeyel banget." Aku terkejut mana kala dia berdiri dengan wajah yang sudah sedatar triplek. "Terserah."

"Pak .... Jangan marah."

"Kamu kira kalau saya punya masalah penting dan nggak pernah cerita sama kamu bagaimana?"

Kuraih tangannya dengan pikiran kesal. Aku akan sedih, kesal, merasa tidak berguna sebagai istrinya, dan bertindak sebagaimana dia bertindak sekarang.

"Makan kalau masih lapar. Hangatin dulu."

"Bapak nggak makan?"

"Kenyang."

Tanganku terlepas dan dia masuk rumah begitu saja. Ya ampun, Airin belum muncul saja sudah buat masalah. Bagaimana kalau dia muncul betulan? Aku kembali menatap ke depan, pagar rumah memang selalu terbuka saat siang begini. Pak Bara hanya menutupnya ketika hari sudah gelap atau saat dia baru pulang.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang