Sale 12. Saya lebih suka telinga daripada bibir

176K 16.7K 345
                                    

Dan ternyata, acara berkunjung ke rumah mertua tidak sesederhana itu. Aku harus menjalani hari yang panjang dengan menjadi istri yang manis saat Pak Bara membawaku jalan-jalan ke rumah teman lamanya. Memang tidak banyak, tetapi paling tidak membuatku sampai pegal karena senyum tanpa henti.

Jam empat sore Pak Bara baru melajukan mobilnya untuk pulang. Padahal kode untuk pulang sejak jam tiga tadi sudah aku lempar, tetapi dia hanya melirik. Selebihnya, lanjut ngobrol lagi dengan temannya.

Aku harus bantu masak.

Aku harus baik pada orang tuanya.

Namun, Pak Bara tidak mengerti itu. Dia tidak peduli, bahkan setelah aku merasa jadi manusia yang tidak diinginkan saat sahur tadi. Wajahku pasti sudah kusut, masam dan sebal. Menutupi apa yang sedang ada dalam pikiran sama sekali bukan sifatku. Dan melihat itu, Pak Bara tidak melakukan hal lebih dari bertanya, kenapa?

Bukannya aku mau menilai buruk mertua, tetapi setelah apa yang dia ceritakan aku kehilangan minat untuk bicara lebih banyak hal. Niatku baik, ingin menjadi menantu yang sesuai kriterianya. Meski tidak bisa 100%, tetapi aku akan berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi apa yang aku dapatkan?

Sebelum bertindak jauh, aku sudah dipukul untuk mundur. Aku tidak mau peduli soal Airin, bagaimana baiknya Airin dulu, dan bagaimana dekatnya hubungan Airin dengan keluarga Pak Bara. Bukankah kenyataan sudah sangat jelas bahwa Airin meninggalkan mereka?

Apa istimewanya orang yang meninggalkan kita demi orang lain?

Namun Mama tidak berpikir demikian. Dia masih-sangat mengistimewakan Airin, bahkan terlihat masih berharap Airin pulang dan meminta menikah dengan Pak Bara lagi.

Nasib pengantin pengganti memang tidak akan baik. Aku harus siap didamprat kapan pun dalam kondisi apa pun. Pak Bara sudah terang-terangan ingin berbaik hati padaku, menawarkan hubungan serius dan melupakan Airin. Wanita itu hanya masa lalu. Ya, suamiku baik. Akan tetapi dibalik suami yang baik ada mertua yang kadang cara berpikirnya tidak bisa di nalar. Mereka orang tua yang sering kali minta menantu yang sempurna tanpa berniat membuat diri mereka sendiri jadi mertua yang sempurna.

"Beli buah dulu."

Kuhela napas sebelum turun dari mobil. Sebetulnya, jika bisa, aku ingin pulang malam ini. Aku sudah enggan buka dan sahur dengan Mama lagi.

"Orang tua Bapak suka apa?"

Namun bagaimana lagi, mereka tetap mertuaku, orang tua suamiku, yang harus aku hormati.

"Semua buah mereka suka."

Bagus. Tidak perlu repot.

"Kalau menantu?" Beberapa jenis buah aku masukkan tanpa banyak pikir. "Suka yang seperti apa?"

"Suka menantu yang seperti apa?"

Aku mengangguk.

"Nggak ada. Satu-satunya anaknya, saya, menantunya cuma kamu."

Karena sudah tidak ada pilihan, maka aku menjadi pilihan terakhir. Heran, kenapa aku baru berpikir setelah menikah? Otakku hilang ke mana saat tanda tangan persetujuan menikah dengan Pak Bara dulu?

Dalam beberapa menit saja Pak Bara sudah melajukan mobilnya lagi menuju rumah. Papa sedang duduk-duduk di luar saat kami datang. Bunga di halaman rumah yang tidak begitu terawat itu menjadi pemandangan yang cukup sejuk.

Setelah salam aku langsung masuk. Aroma masakan sudah tercium dari ruang tamu, membuatku tak kuasa untuk berjalan pelan menuju dapur. Segera kuletakkan tas dan mencuci tangan.

"Maaf ya, Ma, baru pulang." Ingin kutambahkan juga bahwa ini karena anak Mama sendiri, tetapi urung.

"Mandi saja, Ay. Hampir selesai kok ini. Lainnya sudah pesan tadi."

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang