Sale 56. Saya kira anak Airin adalah anak saya

97.8K 14.1K 2.6K
                                    

"Ken."

Kami bertiga—aku, Gia dan Ken—sontak menoleh ke sumber suara. Bapak Bara Budiman yang baru saja kembali dari bertemu dokter menatap Ken lurus. Pasti Ken sekarang deg-degan banget. Kasihan, seharusnya Pak Bara berterima kasih dulu pada Ken karena lelaki itu sudah membantuku sehingga aku mendapat pertolongan secepatnya.

"Makasih ya."

Ternyata dia memang mau melakukan itu. Akan tetapi wajahnya jangan kaku dong, Pak. Wajahnya yang ramah, merasa sedih dan capek supaya aku bisa peluk-peluk.

Kangen ....

Tapi dia nyebelin juga.

Capek. Seharusnya saat begini aku bisa manja-manja, minta dipeluk.

"Besok Ayna bisa izin?"

Mataku menyipit dengan pikiran yang mulai pasrah.

"Bisa, Pak."

"Atau kalau bersedia." Dia menatapku sesaat, dan kembali pada Ken. "Cari saja ganti Ayna. Dia nggak bisa kerja lagi."

Aku mendesah dengan wajah merengut. Baru satu minggu merasakan nikmatnya kerja. Aku tidak mau membalasnya. Ada Gia dan Ken, aku tidak mau bertengkar di depan mereka.

"B-bisa, Pak."

"Nyari ganti kan, nggak bisa cepat, Ken," selaku cepat, sulit untuk diam saja.

Kasihan Ken. Wajahnya betul-betul kikuk. Dia pasti merasa terintimidasi sekaligus pasrah. Ya Tuhan, kenapa Pak Bara punya kemampuan sebaik itu dalam mempengaruhi seseorang?!

"Nanti saya bantu cari."

Sorot mataku kian meredup mendengarnya. Iya, apa sih, yang tidak bisa dia lakukan.

"Nggak usah, Pak. Ada gantinya."

Oh ya? Aku menatap Ken kesal, jadi maksudnya dia sudah punya penggantiku? Rasanya seperti diselungkuhi, alias sialan Ken!

"Gi, mau, kan?"

"Hah?" Gadis itu mengerjap dengan telunjuk menunjuk dirinya sendiri. "G-gimana? Kenapa gue?"

"Ya lo kan, pas nganggur."

"Tapi gue—"

"Gampang, gampang. Yuk pulang dulu."

Akan tetapi aku tidak mau ditinggalkan berdua saja dengan Pak Bara. Firasatku tidak enak. Namun mana mungkin aku tahan mereka berdua? Tidak bisa. Ken menutup pintu dengan cepat, sehingga kini, satu-satunya yang bisa ditatap tajam dan diomeli adalah aku.

Kutepis rasa takut jauh-jauh. Tatap di antara alisnya, jangan matanya. Ck, mana bisa, setiap melihat wajahnya aku selalu bisa menangkap sorot matanya.

Kuremas selimut dengan perasaan paling kesal.

"Bapak mau ke mana?" tanyaku dengan wajah tambah kesal saat melihatnya akan pergi juga.

"Mau urus administrasi."

O-oh. Punggungku mengendur dan berbaring lagi di brankar. Dia keluar ruangan, pintu ditutup dari luar, entah untuk berapa lama. Kepalaku pening memikirkannya. Kenapa keadaan semakin aneh. Kemarin dia marah, jelas dia marah karena aku bertemu Airin diam-diam. Lalu aku juga marah karena dia banyak menyimpan kebohongan.

Lalu sekarang aku hamil. Lalu apa?

Dia diam saja. Tidak ada emosi meledak-ledak. Tidak ada kami bicara soal perselisihan kemarin. Lalu aku juga malas membahas soal Airin lagi. Terserah lah, mau Airin yang kabur atau Bara Budiman itu yang meninggalkan Airin. Terserah alasan kenapa Bara tidak suka aku bertemu Airin.

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang