Sale 45. Memangnya, Pak Bara nggak suka momen buka kancing baju?

111K 12.5K 323
                                    

Bunyi ponsel kembali menarik perhatianku, untungnya kali ini bukan Airin, tetapi dari Gia di grup. Airin hanya mengirimkan satu pesan saja padaku tadi sore, tentang hal yang sama, ingin bertemu. Aku tidak tahu hal apa yang ingin dia bicarakan sebenarnya, tetapi sedikit banyak membuatku tertarik ingin membalas setuju bertemu dengannya. Namun aku masih ingat ada Bara Budiman di rumah ini.

Hanya karena aku tidak bilang saja dia marah, kalau sampai tahu aku bertemu Airin tanpa izin, mungkin dia akan lebih marah.

Kalau begini, aku sendiri yang repot. Sudah tidak enak didiamkan terus, mengerjakan skripsi juga terkendala. Tidak tenang, bagaimana kalau Pak Bara marahnya sampai marah banget? Ih, tidak-tidak. Aku tidak suka orang marah, bentak-bentak dan melakukan kekerasan dalam hal apa pun.

Salah sendiri, Ayna ... kenapa tidak bilang saja?! Apa susahnya bilang Airin mau ketemu, lalu tanya kamu harus melakukan apa!

Ish! Penyesalan memang datang belakangan.

Gerakan tanganku yang menggerakkan tetikus langsung berhenti saat mendengar suara decit pintu. Kali ini aku memang mengerjakan skripsi di kamar, biar langsung tahu kalau dia masuk. Kini, kulepaskan tetikus dan fokus menatapnya.

"Udah selesai, ya, kerjanya?"

Ya jelas sudah dong, Ayna. Buktinya sudah kembali ke kamar.

"Mau langsung tidur?"

Hm, biasanya ada waktu untuk cium-cium dulu, peluk-peluk dulu, bicara walaupun sebentar dan tidak penting.

"Pak, masih marah banget?"

Bibirku merapat sebab tak mendapat balasan apa pun. Dia memang tega kalau sudah marah begini. Dulu saja, berhari-hari juga betah. Aku diam, dia juga diam.

Cepat-cepat kumatian laptop dan menyusulnya ke kasur. Ough, belum  cuci muka. Namun bisa-bisa dia sudah tidur kalau aku selesai cuci muka dan sikat gigi. Tidak usah?

Oke, tidak usah.

Akan tetapi, kok tidurnya miring ke pinggir? Ish, kalau begini aku tidak bisa peluk buat rayu-rayu, dong. Kugaruk kepala sebelum memposisikan diri di belakang punggungnya. Coba peluk, sama sekali tidak nyaman. Badannya besar sementara badanku mini.

"Pak." Aku melongok untuk melihat wajahnya. Masih sangat kaku. "Pak Bara."

Bibirku menipis, lalu tidur telentang. Ya ampun, kayanya aku sudah bucin banget sama suami ini, soalnya betul-betul tidak nyaman hanya dengan tidak mendengar suaranya saja.

"Pak ...."

Beberapa detik berlalu, aku duduk. Dia masih diam saja, bahkan sedikit pun tidak melakukan pergerakan. Kuberanikan diri melangkahkan kaki melewati kakinya. Namun, pinggirnya sempit banget, tapi badanku yang mini ini pasti cukup untuk tidur di sana.

Kutarik tangannya yang terlipat. Berat, tapi tak apa. Setelah berhasil, aku menyisipkan badan di antara tubuhnya. Kalau gerak sedikit saja pasti jatuh. Baru saja berhasil merebahkan diri dengan tak nyaman, suara decakannya sudah terdengar.

"Apa sih! Ganggu."

Aku merengut, berusaha menahan tangannya agar tidak bergerak.

"Jangan diemin aku."

"Awas."

"Jangan diemin aku."

Dia mundur sedikit, membuatku terasa lebih nyaman karena mendapat tempat yang cukup.

"Pak," kutahan tangannya saat dia mau memutar badan. Ih, sudah susah-susah atur tempat biar dipeluk, malah mau dipunggungi lagi.

"Saya mau tidur."

Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang