Mataku langsung terbuka begitu mendengar suara seseorang memasuki kamar. Tak salah dan tak bukan, dialah Bara Budiman yang kehadirannya di ruangan ini sudah aku tunggu sejak tiga puluh menit lalu. Perasaanku gelisah, memikirkan bagaimana reaksi keluarga nanti. Paling tidak, kakak dari ayah akan ngamuk kalau tahu aku menikah tanpa bilang mereka.
Membayangkan lelaki berkumis itu marah saja aku merinding. Soal hal kecil saja, aku hindari sebisa mungkin berurusan dengan dia. Apalagi menikah, yang di mana wali nikahku harusnya dia. Namun kali ini bilang saja tidak.
Mana aku berpikir akan begini. Dulu, yang aku pikirkan cuma uang untuk menebus rumah. Segala halnya diurus pihak Pak Bara. Aku cuma datang ketika dibutuhkan. Terlena dengan pikiran buruk membuatku lupa soal keluarga yang memang tidak pernah dekat sejak dulu.
Tubuhku terduduk di kasur menghadap Pak Bara yang baru dari kamar mandi. Dia menatapku penuh tanya.
"Mama bilang mau ikut ke rumahku," ucapku tanpa basa-basi.
"Ya tinggal ikut nanti."
"Tapi kan belum ada yang tau. Nanti kalau di sana nggak disambut baik gimana?"
Salahnya sendiri, aku sudah bilang dari siang tetapi janjinya akan memberikan solusi tidak ditepati.
"Ya dihadapi dulu. Nanti gimana responnya. Ditanyain maunya keluarga kamu gimana. Kamu tetap sudah jadi istri saya lho."
Wajahku mengerut tak suka dengan pemikiran sesantai itu. Bagaimana kalau Mama sakit hati dengan respon keluargaku? Pak Bara tidak berpikir sampai sana? Atau otakku yang terlalu parno?
Apa kirim pesan saja mengabarkan kalau aku sudah menikah dan sekarang sedang di rumah mertua? Segera kuraih ponsel di nakas, membuka aplikasi pengirim pesan dan mencari nomor pakde. Namun, kurang dari satu menit niat itu sudah batal. Tidak-tidak, bukankah semakin tidak sopan membicarakan ini melalui pesan? Kalau terpaksa sekali, aku harus telepon. Wajarnya ya harus bertemu langsung.
Perasaan kesal semakin memuncak saat Pak Bara merebut ponsel dan meletakkan di nakas.
"Tidur."
"Bapak bisa tidur aku nggak bisa tidur."
"Dilanjutkan besok mikirnya. Malam waktunya tidur."
Aku mendengus kesal, tetapi tetap berbaring telentang.
"Aku nggak enak sama Mama kalau harus berurusan sama keluarga yang masih kaya gini."
"Iya, besok dipikir lagi. Sekarang tidur."
"Nggak bisa tidur kalau nggak selesai mikirnya!"
"Ayna!"
Aku mengerut dengan napas memberat. Selama menikah belum pernah dia menyebut namaku dengan nada keras begitu. Paling-paling, hanya tegas dan kelihatan kesal.
"Mama juga tau kamu nikah nggak pakai wali keluarga. Semua mikirin itu, bukan cuma kamu. Makanya besok datang ke sana tanya sama keluarga kamu maunya gimana, gimana pun sudah terlanjur menikah."
"Jadi kalau nggak terlanjur nikah nggak mau nikah gitu?"
"Terusin pikiran kamu yang begitu."
Bibirku bungkam melihatnya memejamkan mata rapat dengan satu tangan di atas kening. Bukan sepenuhnya salahku! Dia juga tidak mau menjelaskan lebih detail. Aku sudah tanya dari siang, tapi dia sama sekali tidak memberi jawaban apa pun. Seolah ini masalah enteng yang bisa selesai dalam sekedipan mata.
Aku berbaring miring memunggunginya. Sudahlah, biarkan walau memunggungi suami itu dosa. Aku juga sebel, kesal dan bingung. Sementara dia kelihatan santai dan tak terbebani sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Roman d'amour❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...