Tubuhku dihempaskan ke kasur. Pak Bara berdiri menjulang, menatapku dengan seringai licik yang mengerikan. Tatapannya seolah benar-benar siap menelanjangi diriku yang masih berpakaian lengkap begini.
Di saat seperti ini aku betul-betul dilanda perasaan bimbang. Pak Bara masih menyukaiku, atau paling tidak tubuhku. Persetan soal perasaannya yang tidak jelas. Namun di sisi lain sesuatu menyeruak masuk dalam kepala, membuatku kepanasan dan gemetar. Lebih lagi saat Pak Bara melepas kancing piyama satu persatu. Tanganku meremas seprai, mengerut di atas kasur dengan degupan jantung yang menggila.
Piyama terlepas dan dilemparkan ke sofa belakang tubuhnya. Badannya yang tak memakai apa-apa semakin menawan. Aku suka perut rata tanpa lipatannya, dada bidangnya yang hangat, juga lengan kekarnya. Aku suka lelaki seperti ini, yang terlihat panas sekaligus mengerikan.
Hanya aku tidak mampu berhubungan badan sekarang. Meski sejujurnya aku ingin melakukan tugas itu, tetapi aku belum bisa.
"Ayna." Kuusap wajah yang mendadak basah oleh air mata. Bagaimana kalau karena ini Pak Bara memutuskan memilih Airin? Sementara jantungku sudah sering berdetak tak normal setiap dekat dengannya?
"Jangan nangis."
Apa yang bisa dia harapkan dariku? Perempuan yang tak bisa apa-apa dan tak punya apa-apa. Tak mungkin Pak Bara menahan selamanya, dan aku pun tak akan siap jika dia menggunakan wanita luar untuk menyalurkan hasratnya.
"Saya bercanda."
Air mata kuusap ketika melihat Pak Bara mengambil lagi piyama dan memakainya lagi. Suasana mendadak dingin. Punggungnya yang lebar tampak kaku saat kutebak sedang memasang kancing baju. Tak lama dia berbalik, menatapku dengan wajah bersalah. Bukan dia yang salah, tetapi aku.
"Maaf kalau saya menyakiti kamu."
"Enggak," balasku serak sembari menggeleng cepat. Aku langsung duduk bersila, menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ini bukan hal berat, tetapi cukup sulit aku terima dengan lapang dada.
"Kamu tidur saja."
"Bapak?"
Wajahnya kikuk sesaat sebelum memberiku jawaban telak. "Saya ada pekerjaan." Yang aku tebak hanya sebuah alasan untuk menghindar.
Aku rasa kami sama-sama tidak peduli soal nilai A plus-plus, tetapi kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Wajahku menunduk dalam, diliputi rasa bersalah. Dan denyutan nadiku meningkat dengan perasaan yang mendadak terasa pedih saat melihat kakinya berjalan ke pintu.
Jangan pergi dulu. Namun kalimat itu tertahan di ujung lidah. Sampai pintu kamar ditutup dari luar, tak ada yang mampu kuucap. Setelah bertahun-tahun lamanya baru kali ini aku sangat menyesal memiliki masa lalu.
.
"Jadi, lo belum wikwik?"
Pipiku terasa panas saat Gia bertanya demikian terus terang. Ya iya, sih, memang wikwik, tapi kan, bisa dikatakan dengan cara yang lebih manusiawi gitu lho.
"Kenapa nggak cerita aja sih, sama suami, Ay? Kan, siapa tau dia bisa bantu."
"Masalahnyaaa, Giaaa," sebutku panjang dengan nada kesal. Kepalaku berdenyut-denyut pusing memikirkan ini. Apalagi Pak Bara sama sekali belum terlihat akan masuk kamar.
Setengah jam berlalu.
Ya ampun!
"Itu kan, masa lalu buruk banget. Bukannya bantu dia malah jijik sama gue."
"Ih, nggak boleh negative thinking lho, Ay. Pak Bara baik kok."
Bibirku merengut sebal. "Tapi gue takut dia tolak setelah tau apa yang pernah gue alamin." Kuremas selimut dengan rasa geregetan. "Tau sendiri kan, Gi, itu tuh jijik banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romance❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...