Sudah lebih satu jam aku menunggu di dalam kamar. Ya, tak ada yang datang sama sekali. Apakah pekerjaan Pak Bara memerlukan waktu selama ini? Dia berangkat pagi, sepulang mengajar istirahat sebentar. Setelah dari Masjid dia kembali masuk ruang kerjanya.
Biasanya aku pun tak begitu peduli. Lebih cepat tidur lebih baik. Namun malam ini pikiran itu merayap bagaikan air. Lelah bermain ponsel, aku mengambil salah satu bukunya. Isinya jangan ditanya, segala sesuatu soal bangunan. Bayangkan satu rak besar isinya hanya buku non-fiksi, beberapa kubaca juga Filsafat.
Namun informasi itu juga tidak penting, yang penting adalah apa yang dikerjakan Pak Bara sesungguhnya? Seharusnya dia mengikuti prinsip salah seorang dosenku. Malam untuk tidur, siang untuk kerja. Liburan untuk liburan.
Rasanya aku tidak tahan bertahan lebih lama di kamar. Aroma maskulin bantalnya terasa pekat, membuatku kadang curi kesempatan menghirup agar tenang. Kakiku menapaki lantai yang dingin, berjalan sepelan mungkin menuruni tangga, menuju salah satu pintu di rumah ini.
Tertutup rapat. Apakah aku harus mengetuk pintu? Atau langsung masuk? Langsung masuk saja, seperti saat aku mengantarkan kopi. Ugh, kenapa tidak aku buatkan kopi saja sebagai alasan? Namun sudah semalam ini, kopi tidak baik jika aku ingin dia segera masuk kamar dan tidur. Besok weekend, sepatutnya Pak Bara tidur cepat dan bangun terlambat.
Apakah bisa seperti itu? Aku tidak yakin. Sejauh ini, yang kutangkap, Pak Bara disiplin soal waktu.
Sudahlah, masuk saja langsung. Kuputar handle pintu perlahan, lalu mendorongnya pelan-pelan. Ya ampun, hanya mau menengok dia saja kok aku sampai gemetaran.
Pintu terbuka, mengapa tak ada sambutan? Aku melongok, menyaksikan lelaki yang kali ini hanya memakai kaus dan celana kasual itu terpejam di kursi. Kepalanya tegak di sandaran kursi, kaki naik ke meja. Di depannya, layar komputer masih menyala. Hanya ada suara gemercik air dari akuarium.
Ya ampun, dia tidur di sini?
Aku melangkah cepat, mendekat. Wajahnya tenang, tetapi kerutan dahi dan lingkaran hitam di mata menandakan dia kelelahan. Bibirku mengerut tak suka.
"Pak." Bahunya tak bergerak setelah kutoel dengan jari telunjuk. "Paaak."
Dia sangat nyenyak. Apa enaknya tidur di kursi? Lebih baik tidur di kamar, menjadikan aku guling, atau mengawali dengan cium telinga pun, tak masalah. Asal jangan seperti kemarin malam.
Ough, pipiku memanas mengingatnya.
Aku memanggilnya beberapa kali lagi sampai matanya terbuka dengan sayu.
"Kenapa?" Dia bertanya.
"Ngapain tidur di sini, mending di kamar, di kasur, enak."
Dia mengangguk saja. Mengucek matanya sesaat dan menegakkan badan. Aku mundur saat melihatnya meraih tetikus dan mulai menggeluti layar komputer lagi.
"Memangnya ... nggak bisa disambung besok, gitu? Sudah jam duabelas lebih."
"Kamu ngantuk?" Dia malah bertanya. Aku mengangguk jujur. "Tidur, kenapa nunggu saya? Biasanya enggak."
Oh, tentu saja. Aku juga bingung kenapa harus menunggunya, sementara biasanya tidurku pun nyenyak tanpa menunggu Pak Bara. Mungkin karena kami sudah lebih dekat sekarang, perhatianku pun mulai meningkat padanya.
Kubatalkan niatan untuk kembali ke kamar. Di ruangannya ada satu kursi lagi, aku gunakan untuk duduk menghadap akuarium mini.
"Berapa lama ikan ini sudah dipelihara, Pak?"
"Lupa."
Oh. Keningku berkerut-kerut melihat ikan berenang. Tak ada yang salah, hanya bagaimana caranya tidur? Apakah memejamkan mata? Atau berbaring di dasar akuarium?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romantizm❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...