Kini dia tampak bingung sekali. Barangkali dia sudah tahu, bahwa apabila positif hamil, maka garisnya akan dua. Namun pengetahuan itu patah saat aku bilang hamil sementara garisnya hanya satu.
Sementara aku sibuk berkaca, dia terus mengamati test pack. Dibolak-balik, padahal sudah jelas garisnya satu.
Aku mengikutinya yang berjalan ke lemari. Mengambil kotak kaca mata dan memakainya. Ough, astaga ... aku jadi merasa ingin sungkem ulang karena sudah berbohong.
"Udah, Pak. Udah." Kurebut test pack dari tangannya. "Dilihat seratus kali pakai mikroskop juga enggak akan berubah hasilnya."
Baru dia mendengus. "Sengaja bohong?"
Tanpa merasa bersalah, aku mengangguk. "Kaya Pak Bara pas bilang ada anak-anak nunggu aku."
Kini aku pun tahu kenapa dia berbohong. Jadi kita impas, satu sama.
Kepalanya bergerak kanan kiri, tak habis pikir. "Perempuan kalau cemburu."
Ya? Cemburu dari mana? Jelas-jelas aku mempertahankan suamiku dari godaan mantan. Seharusnya dia berterima kasih karena aku sudah membantunya lepas dari Airin. Ck, cewek lugu, ayu dan lemah lembut itu, sama sekali tak dinyana akan kabur seminggu sebelum menikah.
Percayalah, dari banyaknya orang yang pernah kutemui, Airin punya wajah yang sangat polos. Seolah tiada satu dosa pun dalam hidupnya.
Aku menatap cermin dengan prihatin. Beda sekali dengan aku yang walaupun awet muda, sering dibilang masih sekolah, tapi tidak punya kesan lugu sama sekali.
"Keluar dulu."
Aku meliriknya penuh tanya.
"Mau pamit. Nggak sopan."
Oh, oke. Tidak masalah. Aku senang kok, mengantar kepergian mereka. Maaf saja ya, tetapi hatiku ini tidak selembut ibu peri. Jadi sebisa mungkin kusingkirkan hal-hal mengganggu tanpa belas kasihan.
"Ingat," aku menunggu dengan tenang sebelum keluar kamar. "Minum vitamin supaya kuat lima ronde."
What?!
Bibirku terbuka, tak percaya. Sedetik kemudian mendengus kesal. Dasar pikiran mesum.
Kami keluar kamar bersamaan, menuju ruang tamu. Keluarga tetangga sebelah itu memang sudah pamitan. Ibunya merangkulku, menepuk punggungku. Lalu Airin menjabat tanganku dengan senyuman canggung. Dia memakai dress motif bunga selutut dengan lengan pendek, membuat kesan anggunnya jadi berkali-kali lipat.
"Kita pamit," kata sang Ibu dengan mata berkaca. "Doakan di sana lancar."
"Iya pasti didoakan. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi kami. Hati-hati."
Si Ibu mengusap matanya yang baru saja meneteskan air mata. Aku tidak tahu tangisan itu berupa apa. Apakah rasa bersalah karena anaknya sudah batal menikah dengan Pak Bara, atau perasaan duka karena akan meninggalkan tempat ini.
"Airin baik-baik ya," pesan Mama lembut, masih seperti biasa.
Kini, pikiranku justru takjub. Keluarga ini sudah hampir dibuat malu dengan perginya Airin sebelum pernikahan, dan kini mereka masih diperlakukan sangat baik. Kalau aku, jangankan berbaik hati menerima mereka di rumah, tidak mencakar wajahnya saja sudah untung.
Berselang dua menit semuanya sudah meninggalkan pelataran rumah Mama. Pasti berat meninggalkan rumah ini setelah sekian lama tinggal di sini. Namun, Airin sendiri yang berulah.
Ah ya ampun, aku lupa kalau keberadaanku di sini juga karena Airin yang kabur. Kalau tidak, pasti aku belum mengenal Pak Bara.
"Masuk, ngapain dilihatin terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romance❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...