Jantungku kian bergemeratak tak terkendali, seolah siap keluar dari dada ketika mobil berhenti di depan rumahku. Sudah sebulan ini aku hanya mengunjunginya seminggu sekali, tanpa berpesan pada siapa pun untuk merawatnya. Kini, halamannya kotor dan rumah itu seperti tak dihuni puluhan tahun.
Sepanjang jalan aku hanya bicara seadanya. Mama tanya aku jawab, tidak tanya aku diam. Tidak memberi petunjuk jalan, tetapi nyatanya mobil yang dikemudi Pak Bara sampai juga di sini.
Aku sendiri bingung mau turun di sini. Mana mungkin kusuguhkan rumah yang berantakan dan kotor? Namun kalau tidak juga tidak akan sopan.
"Nggak ada orang di sini, Bar. Langsung ke Pak Slamet aja."
Entah harus bersyukur atau bersedih. Bersyukur karena aku tidak harus bingung menyediakan tempat yang layak, juga sedih karena harus langsung ke rumah kakaknya Bapak.
Aku menyandar pasrah ke pinggiran pintu. Apa nasib kami setelah ini? Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Semuanya berdesakan sampai aku merasa tidak sanggup memikirkannya, dan berakhir pada otakku yang blank.
Suamiku juga ... dia kenapa tidak memberiku solusi apa pun. Aku harus bagaimana, melakukan apa, dan apa yang akan dia lakukan?
Laju mobil terasa begitu cepat sampai dalam hitungan menit kendaraan itu sudah berhenti di rumah sederhana. Kami tidak pernah dekat. Maksudku, aku menarik diri dari keluarga. Setelah meninggalnya Bapak, Pakde Slamet mengamanahkan Paman dan Bibi untuk tinggal denganku. Nyatanya dua orang itu justru melakukan hal yang memecah kami. Selepas kepergiannya, aku menjalani hidup sendiri. Tidak membicarakan soal kelakuan Bibi dan Paman pada siapa pun selain Pak Bara dan keluarganya.
Sejak awal ini memang salah. Aku tahu, memutus hubungan baik dengan keluarga tidak bisa dibenarkan. Pun, aku tidak punya alasan kuat. Hanya karena aku kurang nyaman.
Sebelum aku turun, Mama dan Papa lebih dulu keluar membawa serta bingkisan yang sudah dipersiapkan. Dari dalam rumah seorang lelaki dengan kumis tebal terheran-heran dengan kehadiran Mama dan Papa.
"Jelasin yang jujur, jangan bohong." Pak Bara menoleh padaku dengan tatapan yang sulit sekali aku artikan.
Aku mengangguk kaku. Pak Bara keluar lebih dulu, dan membukakan pintu untukku. Begitu aku muncul, lelaki berkumis itu lebih terkejut lagi sampai turun dari teras.
"Nggak pernah pulang kok tiba-tiba pulang?"
Aku berdiri kaku dengan jari meremas telapak tangan Pak Bara. Ya Tuhan, sambutan yang mengerikan.
"Siapa mereka, Ayna?"
Tanganku rasanya mulai basah oleh keringat dingin. Suaraku seperti tikus terjepit pintu, nyaring tetapi kecil, saat menjawab jujur sebagaimana pesan Pak Bara.
"Ini suamiku, Pakde."
***
"Adatnya, sahnya, sewajarnya, saya yang jadi wali untuk Ayna ini. Saya yang bertanggung jawab menikahkan dia. Bukan wali beli."
Kepalaku tertunduk dengan tangan meremas satu sama lain. Pak Bara duduk di sebelahku, Mama dan Papa berhadapan dengan Pakde dan Budhe. Dan sejak tadi, petuah panjang disampaikan Pakde dengan nada mendikte.
"Njenengan menerima Ayna sebagai menantu?" tanya Pakde setelah beberapa saat keadaan ruang tamu itu hening. Jangankan aku dan Pak Bara, Mama dan Papa pun, yang usianya memang lebih muda dari Pakde, mendadak lebih terlihat seperti anak-anak yang dinasehati orang tua.
Papa yang menjawab dengan penuh wibawa, memohon maaf atas kelancangannya menikahkan aku dengan wali hakim, sementara ada yang lebih berhak menjadi wali nikahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romance❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...