Kemajuan pertama setelah kami sepakat untuk saling membantu dalam usaha saling membahagiakan adalah: malam nanti saya lembur, buatkan kopi ya.
Aku tidak tahu apakah itu kemajuan atau bukan, karena sejak dulu, kopi buatanku terkenal tidak sedap. Rasanya biasa saja, atau lebih buruk hambar. Dan Pak Bara akan menelan minuman kafein hambar buatanku malam ini, saat dia baru saja berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat aku bertahan dan nyaman.
Aku ketar-ketir.
Sepulang dari masjid, Pak Bara menepati janjinya untuk lembur. Di ruang kerjanya dia ditemani satu kaktus meja dan akuarium kecil dengan banyak ikan yang sangat kecil. Beberapa kali aku masuk sana saat membersihkan rumah ini, dan tidak pernah segugup ini.
Tidak perlu ditanya lagi, bahkan setelah kami sepakat, sudah puluhan kali mendadak aku deg-degan. Mengingat Pak Bara membuat wajahku memanas dan mungkin memerah.
Kutarik napas dalam sebelum mengetuk pintu. Bibirku tertarik, menyembulkan kepala di antara celah pintu yang tak tertutup rapat itu. Nyengir. Dia yang rupanya tengah memberi makan ikan itu membalas tatapanku dengan senyuman geli.
"Kenapa?"
Aku maju selangkah, menunjukkan cangkir berisi kopi hitam pesanannya.
"Letakkan di meja saja."
Kakiku bergerak cepat menuju meja dan meletakkan cangkir di dekat kaktus mejanya. Ruangan ini terasa kaku sekali, khas ruangan milik orang work holic dan aku pikir, dia pun suka menghabiskan waktu di sini.
"Bisa minta bantuan lagi?"
"Apa?" tanyaku cepat.
"Ambilkan map di tas, di kamar, yang isinya jawaban mahasiswa."
Aku bersiap pergi saat Pak Bara kembali bersuara. "Dan juga," katanya menggantung.
"Apa lagi, Pak?"
Wajahnya menatapku lama, jarinya mengetuk-ketuk meja teratur.
"Pak." Desakku tak sabar.
"Kamu kayanya nggak bisa."
Pekerjaan apa yang tidak bisa aku lakukan? Melihat wajahnya kembali seperti tadi—menahan senyum geli—aku berdecak.
"Jangan suka ngeremehin, ya!"
"Memang bisa?"
"Ya apa?"
"Sini saya bisikin."
Kuputar bola mata sebal sebelum bergerak mendekatinya. Aku menunduk mengikuti instruksinya.
"Ayna."
Aku meliriknya kesal, tinggal bilang saja.
"Yakin bisa?"
"Bapak serius nggak, sih?"
Bukannya menjawab, dia justru tertawa pelan di samping wajahku.
"Serius," katanya sebelum berdiri. Aku mengikutinya berdiri, menatap ikan yang berenang mengelilingi ornamen buatan di dalam air itu.
"Sebenarnya saya ragu," ujar Pak Bara lagi. "Tapi kamu nggak sabar, ya."
"Ya ud—" ups, shit!
Tak perlu ditanya lagi, bagaimana keadaan jantungku setelah suatu benda yang basah dan kenyal serta embusan napas ringan menyapu mata hingga pipiku. Aku berhenti bernapas selama beberapa saat. Begitu sadar apa yang baru saja terjadi, mataku membeliak dengan mulut ternganga.
Jantungku ... ayolah, hanya cium pipi. Bukankah mantan pacar juga pernah cium pipiku? Oh, bahkan bibir pun pernah. Bahkan, yang lebih intim juga pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Flash Sale [END-PART LENGKAP]
Romance❝Dicari! Wanita yang bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Bara Budiman, yang akan menikah pada 12 April 2021❞ Kisah ini dimulai saat Ayna Larasati membaca kalimat tersebut dan dengan kewarasan yang tersisa satu sendok, dia mendaftarkan diri me...