Prolog
.
.
.
Ketukan tuts demi tuts piano mengalun merdu membentuk sebuah melodi salah satu musik klasik yang terkenal. Salah satu karya komponis Johann Pachelbel, Canon in D. Siapa pun tau lantunan piano tersebut.
Namun, hanya beberapa detik alunan merdu tersebut tercipta karena jari-jari lentik yang menari-nari di atas tuts piano salah menekan tuts sehingga menghasilkan bunyi yang begitu menggangu pendengaran.
Gadis belia yang bermain piano itu menghela nafas kasar lalu mengacak rambutnya yang tergerai indah hingga berantakan. Membuat sosok yang sedari tadi mengamatinya tersenyum geli.
Gadis berusia enam belas tahun itu menengok ke belakang. Matanya membulat sejenak saat menyadari sosok pria matang berdiri di antara sekat, ruang tengah dan ruang tamu tersebut. Lalu pria dewasa tersebut melangkah ringan menghampirinya.
"Seharusnya tadi kamu tekan tuts hitam, gak langsung putih."
"Yeah. I know Mister Rayyan!" balas gadis tersebut lalu memperlihatkan jari-jari lentiknya. "Jari-jariku tadi keseleo, makanya tadi tekan tuts putih," elaknya membuat Rainer tergelak.
Tangan Rainer terulur untuk merapikan rambut gadis tersebut, sembari berkata, "Harusnya sebagai pemula kamu belajar twinkle little star aja."
"Aku udah enam bulan belajar piano. Bosan tau kalau twinkle star mulu! Lagian aku udah hapal lagu itu!"
"Really?" tanya Rainer tidak percaya yang diangguki gadis itu. "Show me!"
Gadis tersebut dengan percaya diri meregangkan jari-jarinya. Ia menggeser duduknya agar Rainer bisa duduk di sebelahnya.
"Close your eyes!" titah Rainer menghentikan gadis itu yang hendak menekan tuts.
"How can I play?!" protes gadis tersebut.
"Katanya udah hapal? Kalau udah hapal berarti walau kamu tutup mata, bisa dong mainnya?" Rainer tersenyum geli melihat gadis itu cemberut.
"Aku gak bisa kalau tutup mata,..." cicit gadis itu sembari menunduk, enggan menatap Rainer yang tersenyum geli.
"Engh.... mau lihat aku bermain?" Tawar Rainer membuat gadis tersebut meneggakkan kembali kepalanya lalu mengangguk antusias, tidak lupa tersenyum lebar.
Rainer pun mulai menari-narikan jari-jarinya di atas tuts membentuk melodi yang begitu merdu. Memainkan instrumen favorit gadis tersebut. Canon in D.
"Teach me!" seru gadis itu, takjub melihat permainan piano Rainer. Apalagi pria yang biasa ia panggil 'Om' tersebut memainkan instrumen favoritnya. Instrumen yang hampir tiga bulan ini ia pelajari, tapi sampai sekarang belum bisa mengusai.
"Karena kamu pemula, jadi pakai satu tangan aja dulu." Rainer mulai memberi instruksi pada gadis itu. Lalu meraih tangan kirinya. "Kamu kidal, kan? Jadi, pakai tangan kiri dulu."
Gadis itu mulai patuh, mengikuti setiap yang dikatakan Rainer.
"No! Jangan terlalu kecepatan, Bel!" tegur Rainer menghentikan gerakan jari gadis yang biasa dipanggil Belle itu.
Kemudian Rainer menuntun jari-jari tangan Belle yang terasa begitu dingin. Ia menoleh menatap Belle yang terlihat gugup. Wajah gadis itu memerah membuatnya mengulum senyum.
"Engh... iya. Aku ngerti," ujar Belle seraya melepas tangan Rainer dari jarinya. Menghela nafas terlebih dahulu, ia enggan menoleh untuk menatap Rainer.
Hendak menekan tuts lagi, tapi tiba-tiba konsentrasinya buyar. Melupakan segala not yang ia sudah hapal. Efek karena gugup dan berdebar. Masih terasa genggaman tangan hangat Rainer di jarinya.
"Kenapa?" tanya Rainer karena Belle tidak bermain.
"Ah..." Belle menoleh, terkejut karena wajah Rainer begitu dekat, pria itu menunduk hingga wajah mereka sejajar.
Keduanya saling bertatapan. Dua insan yang memiliki perbedaan umur lima belas tahun itu hanya diam selama beberapa detik.
Belle menelan ludahnya gugup saat ia menatap bibir Rainer.
Rainer yang menyadari tatapan Belle, entah kenapa terdorong untuk mencium bibir mungil gadis tersebut. Membuat Belle terkejut hingga tubuhnya menegang.
Tanpa menjauhkan wajahnya, Rainer kembali mengunci tatapan Belle. Lalu ia tersenyum, "Can I kiss you?"
Walau sudah mencium Belle tadi, tapi hanya sekilas. Sepertinya Rainer harus meminta izin, siapa tau saja gadis itu marah.
Belle tidak tau harus menjawab apa. Lidahnya kelu untuk digerakkan. Ia hanya menatap mata dan bibir Rainer secara bergantian yang membuat pria itu beranggapan jika ia memberi izin.
Akhirnya Rainer pun menyatukan bibir mereka. Menangkup wajah Belle agar tidak menghindar dan semakin memperdalam ciuman mereka.
Dengan kaku, Belle membalas ciuman Rainer yang begitu memabukkan. Namun, ia tidak bisa mengimbangi. Mengingat Rainer adalah pria dewasa, sementara ia masih gadis belia. Ini merupakan pengalaman pertama bagi Belle.
Tangannya hanya mampu meremas pelan kemeja bagian depan Rainer, menyalurkan perasaan menggelitik yang berasal dari perutnya. Sungguh, laju debar jantung Belle berdentum tidak karuan. Tidak menyangka jika cinta pertamanya menjadi ciuman pertamanya.
.
.
.
Yuhuuu
Cerita baru lagi nih!
Tapi yang udah baca EXONERATE, ga asing dong sama sosok Rainer.
Karna seperti biasa, kalo Nanas nyari ide untuk cerita ini eh malah muncul ide buat ceria baru hehe
Yang nungguin EXONERATE, harap sabar yaa. Harap bersabar, Nanas lagi stuck nih. Nikmati cerita ini dulu ya🙂
Minggu, 25 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAMANCY
General Fiction[series4] #PROJECT 3 __________ ⚠️21+ REDAMANCY : "Mencintai Seseorang Yang Juga Mencintai Kita". __________ Copyright ©2021, NanasManis start [25/4/21] end [11/6/21]