39

7.3K 572 11
                                    

Kamu Gak Mau Kan Hak Kamu Diambil?

.

.

.

"Sepertinya Miss Meera dan Mas Rainer 'dekat'?"

Pertanyaan Sania kembali melucur ketika keduanya telah duduk di sofa. Belle sudah disuguhkan secangkir teh hangat.

"Em... Mbak Sania gak usah manggil saya 'Miss Meera', soalnya saya bukan lagi guru pianonya Belva. Panggil saja 'Belle' atau 'El'."

Belle tersenyum tipis. Lalu menyeruput teh tersebut. Bersikap anggun.

Sania terdiam memperhatikan Belle. Wanita itu mengalihkan pembicaraan. Enggan menjawab pertanyaannya.

"Ah iya. Mungkin saya panggil El aja. Soalnya kalau Belle hampir sama dengan nama Belva. Nanti kalau saya panggil Belva, malah kamu yang noleh." Sania tersenyum geli. Berusaha mencairkan suasana canggung tersebut.

"Ya juga sih. Rainer seringkali seperti itu. Dia manggil saya, tapi yang nyahut Belva. Atau sebaliknya." Tanpa sadar Belle kembali menegaskan jika ia dan Rainer begitu dekat.

Lalu Belle terpekur lagi.

Apa sebenarnya yang ingin ia tunjukkan pada Sania? Kenapa malah seperti seorang kekasih yang menegaskan pada seorang pelakor agar berhenti mendekati kekasihnya?

"Mas Rai ngurus Belva dari kecil,..." Belle tersentak, ia menatap Sania yang tersenyum tipis, "Saya salut sama dia yang ngurus Belva. Nempatin posisi ayah sekaligus ibu untuk Belva."

Sania yang tadi menerawang, balik menatap Belle. "Yang saya tau. Mami Belva gak meninggal dunia. Melainkan meninggalkan Mas Rai dan Belva. Mungkin itu yang membuat Mas Rai selama ini enggan membuka hati untuk wanita manapun. Tapi, kalau kalian sekarang 'dekat', saya cuma mau bilang,..." Sania tersenyum lagi, "Semoga kamu gak kaya Maminya Belva."

Hati Belle berdenyut sakit.

Perkataan Sania menusuknya.

Semoga gak kayak Maminya Belva, bisiknya dalam hati.

Padahal nyatanya ia Maminya Belva. Ia telah menyakiti Belva. Membuat gadis kecilnya itu tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Membuat gadis kecilnya itu iri dengan anak-anak lain yang memamerkan keakraban mereka dengan ibu mereka.

Menggigit pelan bibirnya. Ia mencoba menahan tangisnya yang ingin tumpah.

》》《《

Hampir sejam Rainer membujuk Belva agar putri kecilnya itu memaafkannya. Kalau saja Belva tidak diiming-imingi dibelikan mainan baru, mungkin Rainer sekarang masih memelas agar Belva memaafkannya.

Pun sudah berjanji tidak akan memarahi Belva lagi seperti itu.

Dan Rainer menegaskan jika Belva tidak boleh lagi memanggil Sania dengan sebutan 'Mami'.

"Memang kenapa, Pi? Kenapa Bel gak boleh manggil Mam... em maksud Bel Tante Sania 'Mami'?" tanya Belva.

"Karena Tante Sania bukan Maminya Belva," ujar Rainer lembut sembari mengelus rambut panjang Belva.

"Ta-tapi Bel mau punya Mami," lirih Belva pelan sembari menundukkan wajahnya. Gerakan tangan Rainer berhenti mengelus rambut Belva.

"Bel bisa panggil Miss Meera 'Mami'."

Gadis kecil itu menegakkan kepala. Menatapnya dengan kening mengerut.

"Lho kenapa? Kenapa Bel boleh manggil Miss Meera 'Mami'? Dan kenapa Tante Sania gak boleh?"

REDAMANCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang