Daven bersiap dikamarnya, ia baru memakai kemeja putih dan celana kainnya.Sekarang ia sedang kesusahan memakai dasi, "Aah bagaimana caranya?" gumamnya.
Helena datang menengok putranya, ia membantunya memasang dasi di kerahnya. Setelah itu ia tersenyum pada Daven, sebuah senyuman dengan penuh kasih sayang. "Putra ibu sudah dewasa," ucapnya sambil menepuk nepuk bahu Daven.
"Aaa ibu," apanya yang dewasa? didepan ibunya dia tetap anak anak.
"Kau merasa gugup?" tanya Helena.
Daven mengangguk, tentu saja ia gugup. "Aku tak bisa tidur dari semalam,"
"Ibu yakin kau pasti bisa melaluinya dengan mudah," Helena memberinya motivasi, yang semoga saja berhasil.
"Yah, semoga," ujar Daven, kini ia telah memakai rompi yang senada dengan warna jasnya nanti. "Apa aku terlihat tampan ibu?"
"Tentu saja, kau kan anak ibu," Helena ikut memandang cermin.
"Iyaa, putra ibu ini memang sangat tampan sejagat raya," Daven setuju dengan pendapat ibunya.
"Sudah lah, pergi lihat adikmu dari tadi ia belum keluar dari kamar. Bilang ibu menunggunya setelah itu kau pergilah untuk menemui ayahmu, " setelah itu Helena pergi memeriksa para undangan.
*
Alice berada di kamar untuk merias diri, "Apa ini cocok untuk ku? jangan terlalu banyak, aku ingin Daven mengenaliku," Ia berbincang dengan penata rias.
Ia mengenakan gaunnya, roknya mekar bak bunga ditaman saat musim semi. Gaun itu membalut tubuhnya dengan sempurna, rambutnya di gulung rapi dengan beberapa bunga sebagai hiasan.
"Kau adalah pengantin paling cantik Alice," kata ibunya.
"Begitukah?" Alice memeriksa riasannya.
Ibunya memeluknya, "Sekarang kau akan menikah, setelah ini kau juga putri dari keluarga suamimu. Ibu harap kau dapat menjadi istri dan anak perempuan yang baik untuk mereka," ibunya menahan tangis.
Ayah Alice hanya berdiri di depan kusen pintu, ia malah sudah menitihkan air mata. Putri semata wayangnya kini jadi milik orang lain, "Ayaah," Alice menghampiri ayahnya dan memeluknya. "Kenapa ayah menangis?"
"Aku terharu, kau bisa lebih cantik dari ibu mu dulu," canda Ayahnya.
"Kau ini," ibunya mencubit perut ayah Alice.
Mereka tertawa dalam harunya, mungkin ini tidak benar benar pertemuan terakhir. Namun setelah ini Alice mutlak menjadi milik Daven, bukan lagi milik kedua orang tuanya. Tak heran mereka berdua sedang menumpahkan perasaan sayangnya pada Alice saat ini.
*
Neona memanyunkan bibirnya didepan cermin dan mengoles lip tint warna merah kesukaannya. "Sempurna!" ia mengenakan gaun yang di pilihkan Alice. Neona sedikit berputar untuk melihat penampilannya, ia tak boleh punya cela sedikit pun malam ini. Edward akan datang, itulah sebab bahagianya saat ini.
"Sudah Neona, yang mau menikah itu aku kenapa kau berdandan seakan akan kau mau menikah hari ini," Ujar Daven. Bukannya bersiap dia malah ke kamar Neona. Sekarang ia tengah mengenakan setelan tuxedo khas pengantin pria, namun jasnya tak ia kenakan, ia menggantungkan jas berwarna hitamnya di lengan.
"Biarlah, aku juga tidak mau kalah cantik dengan kak Alice," Ia berkacak pinggang "Kakak sendiri ngapain disini? Sana pergi sama ayah,"
"Neonaaaa aku sangat gugup, aku harus bagaimana?" rengek Daven. Ia benar benar gugup, jantungnya berdegup kencang dan tangannya sangat dingin. Lagi lagi hatinya gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Will of The Moon
Hombres Lobo"Dihadapan bulan kami membuat sumpah dan hal itu tidak akan pernah terlanggar. Aku akan selalu menjadi matamu dan kau akan selalu menjadi penenangku" Sebuah kisah yang sudah terlampau jauh untuk diingat oleh Alice kembali berlanjut. Namun semuanya t...