22 tahun kemudian....
"Bunda... Jas adek mana? Ini adek udah mau ke rumah sakit loh, Bun. Masa minggu terakhir koas mau telat, rugi dong kedisiplinan selama dua tahun terakhir." Teriak seorang gadis dari kamarnya.
"Di ruang setrika, dek... Kan udah bunda bilang tadi, kalau jas adek bunda setrika." Sahut sang bunda, dari dapur.
"Oh iya Bun, lupa hehe."
"Bunda... Kamera Abang mana? Bentar lagi ada take ini... Tapi kameranya nggak ada, Bun. Adanya cuma tasnya aja." Kali ini giliran saudara kembar sang gadis yang berteriak.
"Di meja kerja ayah, Bang. Abang kemarin kan nunjukin gambar ke Ayah, minta pendapat. Tapi karena Ayah sibuk, Ayah suruh tinggal kameranya dulu di sana kan, Bang? Masa abang lupa?" Sahut sang bunda, masih dengan posisi yang sama, di dapur.
"Oh iya, hehe." Cengenges pemuda itu, membuat sang bunda hanya bisa menggeleng kepala.
Tidak lama kemudian, datanglah empat lelaki berbeda generasi. Satu di antaranya adalah pria paruh baya dan tiga yang lainnya adalah pemuda dengan rupa yang hampir sama. Keempatnya kompak menyodorkan dasi pada wanita yang sedang berkutat di dapur.
"Bunda, dasi." Serempak keempatnya, mengungkapkan kalimat yang sama.
Wanita itu menghela nafas, mematikan kompor, kemudian meraih dasi yang di sodorkan pria paruh baya.
Sambil menggerutu, wanita itu memasangkan dasi pada pria yang merupakan suaminya.
"Ayah ini gimana sih? Udah tua juga, masih aja nyuruh Bunda yang pasang dasi." Omelnya.
"Loh, ayah kan cuma mencarikan pahala buat bunda. Melayani suami, pahala loh, Bun." Ucap pria tersebut, setelah menghadiahkan kecupan di dahi sang istri yang telah selesai memasangkan dasi untuknya.
Wanita itu berdecak, kemudian berpindah pada sang putra sulung.
"Bang Anta juga, jadi kakak yang paling tua kok nggak ada mandiri-mandirinya sama sekali."
"Bukan nggak mandiri, Bun. Tapi mau aja dimanja sama bunda, hehe."
"Sama aja, Bang." Berpindah, kini wanita itu meraih dasi putra keduanya. "Bang Riksa, nggak malu tuh sama penampilan? Penampilan aja sangar, tapi masang dasi aja nggak bisa."
"Bukan nggak bisa, Bun. Tapi nggak mau..." Balas Riksa sambil mencium pipi sang bunda, sangat dekat dengan sudut bibirnya. Hal itu membuat sang ayah melotot dan segera menariknya.
"Hei, apa-apaan kamu? Berani cium-cium istriku, sana cari istri sendiri!" Marah sang ayah.
"Hehe, peace ayah..." Cengengesnya sambil mengangkat kedua jarinya.
Sang bunda hanya menggeleng, maklum. Seolah hal itu tidak asing baginya. Dia meneruskan tugasnya memasangkan dasi terakhir, milik putra ketiganya.
"Bang Gala, juga. Bukannya pulang bawain bunda menantu, ini malah manjanya nggak berhenti-berhenti. Gimana nanti kalau punya istri coba? Bisa-bisa istri abang cemburu sama bunda."
"Haduh, bunda... Abang mah nikah belakangan aja. Harusnya bunda tuh nyuruh Bang Anta dulu, kan dia yang tertua. Ya nggak, Bang?" Jawab Galaksi yang meminta dukungan abang keduanya.
"Yoi." Sahut Riksa, lalu ber tos ria dengan sang adik.
"Heh, apa? Nggak ada ya... Tua apanya? Orang kita beda cuma beberapa menit aja kok." Sela Anta, tidak terima.
"Tetap aja, tua." Serempak Riksa dan Galaksi.
"Halah, sesama tua kok berantem."
Kompak, semua menoleh ke arah pemuda yang sedang duduk di kursi ruang makan sembari menggingit Apel. Oh jangan lupakan, satu kakinya juga dinaikkan ke kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya (TAMAT)
Teen FictionLENGKAP... BELUM REVISI!!! Setiap orang pasti menginginkan terlahir dalam keluarga kaya raya. Segala keinginannya dapat terlaksana. Karena kita hidup di jaman dimana uanglah yang berbicara. Hingga setiap orang berlomba-lomba menambah kekayaan merek...