Ujian akhir semester telah usai. Menandakan, musim liburan segera tiba. Waktu bergulir begitu cepat.
Tidak terasa, sudah setengah jalan Surya menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Melewati pahit manisnya kehidupan perkuliahan selama empat semester. Tinggal empat semester lagi, dan Surya resmi menyandang gelar sarjana.
Surya menatap nanar sertifikat ditangannya, sertifikat beasiswa. Beasiswa, salah satu alasan untuk kebahagiaan dan juga penderitaannya.
Disatu sisi, Surya bisa meneruskan kuliahnya berkat beasiswa itu. Di sisi lain, dia juga mendapat perlakuan buruk dari mahasiswa lain karena alasan yang sama.
Apa salahnya terlahir sebagai orang miskin? Apa salahnya berteman tanpa memandang status? Apa salahnya kuliah dengan beasiswa? Semua pertanyaan itu terus berputar di benak Surya.
Surya tidak habis pikir, mengapa mereka mempermasalahkannya? Toh, ini hidupnya. Beasiswa juga dia dapat dari hasil kerja kerasnya sendiri. Selama tidak merugikan orang lain, bukankah itu bisa diterima? Lalu apa masalahnya?
"Woy, bengong aja lo." Lano menepuk pelan bahu Surya.
Surya terkejut, segera dimasukkannya sertifikat itu dalam tas. Untung saja tasnya sedang dalam kondisi terbuka dan berada dipangkuannya. Hingga dia dapat memasukkan sertifikat dengan cepat tanpa diketahui Lano dan Devan.
"Iya, mikirin apa lo?" Tanya Devan.
Surya melirik mereka sebentar, kemudian menatap kedepan. Melihat betapa luasnya lapangan fakultas ini. Sekedar mengalihkan perhatian.
"Gue gak mikir apa-apa kok. Cuma masalah kerjaan aja." Alibinya.
"Oh." Lano mengangguk paham. "Lo, nanti ikutkan? Ke rumah Devan."
"Lihat nanti." Singkatnya.
"Yah, Sur... Lo harus ikut dong... Wajib tau. Habis ini kan liburan. Lo pasti pulang kampung. Kita seneng-seneng bentar lah. Kita cuma ke rumah Devan loh, bukan ke kelab malam. Masa lo nolak sih?" Lano memprovokasi Surya.
"Ck, iya iya gue dateng. Bawel lo, ah."
"Nah, gitu dong... Jam 07.00 malam ya. Jangan telat!"
"Hmm."
oOo
Surya memasuki pekarangan rumah Devan. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. Tapi, pemuda itu selalu dibuat terpukau akan kemewahan rumah ini setiap saat. Kapan ya, dia bisa memiliki rumah sebesar ini?
Surya mengenyahkan pemikiran itu. Tidak seharusnya dia iri dengan kehidupan orang lain. Setiap orang punya masalah masing-masing. Dan kebetulan masalahnya terpaku pada kondisi ekonomi. Ya, pemikiran itu harus tertanam sedalam mungkin di benaknya.
Ting.. Tung..... Ting.. Tung.....
Surya membunyikan bel berulang kali. Hingga terdengar sebuah sahutan dari dalam.
"Iya, sebentar..."
Pintu terbuka. Didepannya, berdiri seorang wanita paruh baya yang merupakan pelayan di rumah ini, Bi Iyem.
"Eh, Den Surya... Mari silahkan masuk. Langsung ke taman belakang aja, Den! Di sana udah ada Den Devan sama Den Lano." Iyem mempersilahkannya masuk.
"Ah, iya. Makasih bi."
"Sama-sama atu, Den. Kalau gitu, bibi pamit ke dapur ya. Lagi masak soalnya." Pamit Iyem yang diangguki oleh Surya.
Surya berjalan menuju taman belakang. Tempat yang sudah dia hafal diluar kepala. Karena setiap mereka ke rumah ini pasti Devan selalu mengajaknya ke taman belakang. Hanya saat bermain PlayStation saja mereka akan berada di kamar Devan. Selebihnya, mereka lebih sering berada di taman belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya (TAMAT)
Teen FictionLENGKAP... BELUM REVISI!!! Setiap orang pasti menginginkan terlahir dalam keluarga kaya raya. Segala keinginannya dapat terlaksana. Karena kita hidup di jaman dimana uanglah yang berbicara. Hingga setiap orang berlomba-lomba menambah kekayaan merek...