"Ayo dek, jangan mau kalah sama abangnya!"
Tampak seorang pria dengan setelan rapi tengah mengawasi putra sulung dan bungsunya yang juga sudah rapi. Kedua bayi berumur tiga bulan itu sangat antusias ketika sang bunda memakaikan pakaian rapi beberapa saat lalu. Seolah paham bahwa mereka akan diajak menghadiri acara penting.
"Nah iya, gitu dek. Terus! Terus! Satu, dua... Yeee... Anak ayah udah besar ya, udah pada bisa tengkurap semua."
Melihat keantusiasan suaminya, sang istri hanya bisa tersenyum. Kemudian melanjutkan kegiatannya, memakaikan pakaian kepada putra keduanya.
"Nah Abang Riksa udah ganteng." Ucapnya sambil mencium pipi gembul sang putra. "Ayo kita berangkat sekarang, Yah. Keburu siang nanti." Ajaknya pada sang suami.
"Oh, Bang Riksa udah siap?! Ya udah, lets go... Kita berangkat baby boys." Ucapnya sambil menggendong kedua bayi menggemaskan itu.
Dibelakang, istrinya menyusul membawa putra keduanya dan tas besar berisi perlengkapan mereka bertiga.
Kalau ditanya, apakah mereka tidak merasa kerepotan dengan kondisi ini? Jawabannya tentu, mereka merasa kerepotan. Tapi itu dulu, saat si kembar tiga masih umur beberapa minggu. Saat itu, mungkin mereka masih kaku dan belum beradaptasi karena masih menjadi orang tua baru. Namun untuk saat ini, mungkin mereka sudah terbiasa. Hingga mareka sudah tidak merasa kerepotan lagi.
"Surya." Teriak seseorang yang membuatnya menoleh secara otomatis ke arah datangnya suara.
Surya tersenyum, "eh lo di sini Dev? Kenapa nggak langsung ke tempat acara aja?" Tanya Surya penasaran.
Dia memang mengundang Devan untuk meresmikan pembukaan cabang perusahaan percetakannya yang baru. Namun melihat temannya di sini, membuatnya heran. Dia jadi sedikit curiga, apakah temannya itu tidak bisa datang? Dan kemari berniat pamitan? Tapi kenapa harus kemari? Bukankah ada handphone? Entahlah, Surya hanya bisa menebak secara acak. Tanpa menyadari, bahwa Devan berdiri dihadapannya dan mengambil alih salah satu putranya.
"Wah, adek ... " Devan terdiam. Dia masih belum bisa membedakan ketiga bayi kembar itu.
"Anta," jawab Surya singkat.
Devan mengangguk, senyum kembali terukir di wajahnya. "Wah, Bang Anta udah ganteng aja. Mau kemana nak? Mau ikut ayah sama bunda, iya?"
Devan menguyel-uyel perut Anta dengan wajahnya. Anehnya, bukannya risih bayi itu malah tertawa. Sungguh, ada daya tarik tersendiri dalam diri Devan yang membuat ketiga putra Surya nyaman bersamanya. Berbeda dengan Lano, yang seolah menjadi musuh bebuyutan bagi ketiga bayi itu.
"Dev, kok lo bisa ada di sini?" Surya kembali mengulangi pertanyaananya.
"Gue yang bakal jadi tetangga lo." Jawab Devan sambil terus menggoda Anta.
Surya melotot, "hah jadi lo yang beli apartemen sebelah? Kenapa? Lo kan ada rumah."
"Ya, buat tempat singgah aja. Lo kan udah jarang bisa main ke rumah gue. Terus gue sama Lano juga gak mungkin main ke apart lo. So, gue beli aja apart sebelah. Biar lo bisa gabung sama kita, terus gue juga bisa main sama si kembar." Jelas Lano tanpa beban.
Surya menganga tak percaya. Semudah itu? Hei, dia saja harus banting tulang selama setahun baru bisa beli mobil. Itupun dia terpaksa beli karena tidak mungkin jika si kembar dia bonceng pakai motor. Bisa-bisa masuk angin mereka.
Lah Devan? Beli apartemen seolah beli permen? Sungguh tak paham lagi Surya mengenai pemikiran kolong merat. Membayangkan saja dia tak sanggup.
Clara yang menyadari situasi, segera memegang lengan Surya. "Mas, ayo berangkat! Udah siang ini, nanti telat." Ajak Clara pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya (TAMAT)
Novela JuvenilLENGKAP... BELUM REVISI!!! Setiap orang pasti menginginkan terlahir dalam keluarga kaya raya. Segala keinginannya dapat terlaksana. Karena kita hidup di jaman dimana uanglah yang berbicara. Hingga setiap orang berlomba-lomba menambah kekayaan merek...