11. Tempat Baru

472 44 0
                                    

Surya memasukkan kopernya ke bagasi taksi. Taksi online yang sudah dia tunggu sedari tadi. Taksi yang akan membawa dirinya ke kota. Kota tempat dimana dia akan menetap beberapa tahun kedepan. Kota yang akan menjadi awal mula untuk mewujudkan tekad dan impiannya.

Surya berjalan menuju teras rumah. Dia berpamitan kepada kedua orang tuanya sebentar, membiarkan sang sopir taksi menunggunya. "Surya pamit ya, yah... bun... Doakan Surya."

"Iya sayang... Pasti bunda doakan semua yang terbaik untuk Surya. Jaga dirimu baik-baik! Kalau ada apa-apa, langsung hubungi ayah sama bunda! Jangan pendam masalahmu sendiri! Kita makhluk sosial, nggak akan mungkin bisa menyelesaikan apapun sendiri. Kita pasti butuh bantuan orang lain. Nah itulah gunanya orang tua. Mereka pasti selalu ada untuk anak-anaknya. Jadi, kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri, apapun alasannya. Surya paham kan apa maksud bunda?" Bu Amel memeluk Surya. Air matanya terus menetes tanpa bisa dicegah.

"Iya bunda, Surya akan selalu ingat pesan bunda." Surya melepaskan pelukan itu. Dia menghapus air mata bundanya. Mengerakkan ibu jari dan jari telunjuknya untuk menarik sudut bibirnya, mengisyaratkan bundanya untuk tersenyum. Dan isyarat itu tertangkap sempurna oleh sang bunda. Lengkungan manis terukir di bibir bundanya. Meski isak tangis masih terus mengiringi.

"Jangan buat masalah ya, sayang... Sebisa mungkin hindari saja. Jangan bergaul dengan anak yang nggak baik! Jangan terlalu capek! Jangan bolos! Jangan makan makanan nggak sehat! Jangan..."

"Ayolah bunda... Surya sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Jadi, bunda nggak perlu khawatir yang berlebihan seperti itu." Surya memotong ucapan bundanya.

"Dasar, nggak sopan. Bunda serius ini."

"Iya bunda, iya... Surya akan jada diri Surya baik-baik."

"Surya." Panggil Pak Lukman, mengalihkan perhatian anak dan istrinya.

"Iya ayah." Surya mendekati ayahnya.

"Ayah tanya sekali lagi. Apa kamu yakin sama keputusanmu ini?"

"Iya ayah, Surya yakin."

"Kamu nggak akan menyesal kan? Masih belum terlambat untuk pindah haluan."

"Ayah, Surya sudah sangat yakin dengan keputusan ini. Apapun hasilnya nanti, Surya akan hadapi. Nggak akan ada kata menyesal, Surya janji."

"Baiklah kalau begitu. Good luck son!" Pak Lukman menepuk pelan kepala Surya.

"Iya ayah, pasti. Ya udah, kalau gitu Surya berangkat sekarang ya... Ayah sama bunda baik-baik di sini, jaga kesehatan! Titip salam buat adik-adik ya... Suruh belajar yang rajin! Bye ayah... bunda... Nanti Surya telpon kalau sudah sampai." Surya masuk ke dalam taksi. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya. Menutup sesi berpamitan hari ini. Bersiap memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan dimana dia harus berusaha sendiri, tanpa mengharap bantuan orang tua. Disini, usahalah yang berperan. Mampu tidaknya seseorang bertahan hidup, dilihat dari usahanya. Tidak ada usaha, berarti tidak ada kehidupan.

oOo

"Huft, capeknya... Apalagi yang kurang ya? Beres-beres, udah. Mandi, udah. Jalan-jalan, adaptasi lingkungan, lihat kampus? Ah, nanti sajalah masih capek. Apalagi ya?" Surya bermonolog sambil berbaring di ranjang yang sudah dia bersihkan beberapa menit yang lalu. "Oh iya, telpon rumah. Kan belum kasih kabar. Pasti ayah sama bunda udah nungguin kabar dari tadi nih. Ah bodoh, Surya bodoh. Kenapa bisa sampai lupa sih." Surya memukul kepalanya sendiri. Dia lupa memberi kabar keluarganya. Dia terlalu fokus membersihkan kamar kostnya, hingga melupakan segalanya.

"Halo sayang."

"Halo bunda. Bunda, Surya udah sampai. Maaf ya, baru ngabarin. Surya lupa, terlalu fokus beres-beres sih. Ini aja baru selesai mandi."

Surya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang