Pak Lukman menghampiri putra sulungnya yang tengah sibuk menata piagam dalam pigora. Beliau mendudukkan dirinya di kasur tepat disamping sang putra.
Merasa ada pergerakan disampingnya, Surya menoleh untuk melihatnya. Dia meletakkan pigora di kasur. Kemudian mengubah posisi duduknya untuk menghadap sang ayah.
"Ayah di sini? Kenapa belum tidur? Ada yang mau ayah omongin sama Surya?" Tebakan Surya tepat sasaran.
"Iya, ada yang mau ayah omongin."
"Apa yah? Ayah mau ngomongin apa?"
"Ayah mau tanya, apa kamu benar-benar ingin kuliah? Kamu tahu kan Sur, kondisi ekonomi keluarga kita. Ayah takut, ayah nggak akan mampu membiayainya. Biaya kuliah sangat mahal Sur. Mungkin untuk tahun pertama, ayah masih mampu. Ayah akan cari pinjaman. Tapi, untuk tahun-tahun berikutnya? Kemungkinan besar, kamu pasti akan di DO karena nggak bisa bayar uang kuliah."
Surya diam tak menjawab. Dia merenung, memikirkan perkataan sang ayah yang ada benarnya. Jika dia tetap memaksa untuk kuliah, kira-kira apa yang akan terjadi esok? Ah, Surya bahkan tidak berani membayangkannya. Tapi di sisi lain, dia ingin sukses. Dia ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi. Tapi jika keadaannya seperti ini, apa yang harus Surya lakukan?
"Begini saja yah, ayah bisa biayai kuliah Surya ditahun pertama saja. Untuk tahun-tahun berikutnya, biar Surya usaha sendiri. Di sini, Surya yang ingin kuliah. Surya yang ingin memperoleh gelar sarjana. Dan Surya jugalah yang ingin mendapat ilmu. Jadi harusnya, Surya sendiri yang berusaha. Ayah tidak perlu khawatir. Surya akan berusaha semaksimal mungkin, agar Surya tetap bisa berkuliah." Jawab Surya mantap.
"Kamu yakin Sur? Ini kuliah lo, bukan sekolah TK. Biayanya pasti jutaan, kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?" Tanya Pak Lukman meyakinkan.
"Iya ayah, Surya yakin. Tapi kalau ayah tanya Surya dapat uang sebanyak itu dari mana, Surya akan langsung menjawab, Surya nggak tahu. Karena di sini, usaha yang Surya maksud itu bukan tentang uang, tapi usaha yang lain seperti beasiswa contohnya."
"Lalu, biaya hidupmu?"
"Surya bisa kerja paruh waktu."
"Semua nggak semudah itu Surya... Semua nggak semudah membalikkan telapak tangan."
"Surya tahu ayah... Surya tahu. Tapi nggak ada salahnya untuk mencoba bukan? Ayah tahu, kecerdasan itu takdir dan kemiskinan itu nasib. Nasib tidak bisa mengubah takdir, tapi takdir bisa mengubah nasib. Dan Surya? Surya cukup beruntung, karena takdir lah yang memihak Surya. Surya hanya harus berusaha untuk mengubah nasib dengan takdir yang Surya miliki. Dan ayah? Ayah harus mendukung Surya! Jangan patahkan semangat Surya, ayah! Surya mohon..." Surya mengatakannya dengan semangat menggebu. Dia juga sedang meyakinkan dirinya sendiri, jangan sampai tekadnya goyah, apapun alasannya.
Pak Lukman bangkit dari duduknya. Pria paruh baya itu langsung menarik Surya ke dalam dekapannya. Sungguh, memiliki seorang putra seperti Surya merupakan anugrah baginya. Putra sulungnya ini memiliki tekad yang kuat, tidak mudah putus asa.
"Pasti, ayah pasti akan selalu mendukungmu. Surya tahu, Surya memiliki tekad yang sangat kuat. Tapi, jika sudah tidak sanggup, berhentilah! Putar balik, cari jalan lain! Jangan ubah tekadmu menjadi ambisi! Karena ambisi, hanya akan menghancurkanmu." Nasihat Pak Lukman sebelum pergi dari kamar putra sulungnya itu.
Sesaat setelah ayahnya pergi, Surya memegang dada kirinya. Merasakan detak jantungnya. Nasihat tadi, begitu menggetarkan jiwanya. Dia mulai berpikir, apakah saat ini dia sedang bertekad atau berambisi?
"Duh, kenapa gue jadi takut ya, setelah denger omongan ayah tadi? Apa bener kata ayah, ini tuh cuma tekad, bukan ambisi. Tapi kok, gue malah mikir ini ambisi ya? Lah, kenapa sekarang gue jadi gak bisa bedain mana yang tekad sama mana yang ambisi sih?" Surya terus memaksa otaknya untuk berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya (TAMAT)
Teen FictionLENGKAP... BELUM REVISI!!! Setiap orang pasti menginginkan terlahir dalam keluarga kaya raya. Segala keinginannya dapat terlaksana. Karena kita hidup di jaman dimana uanglah yang berbicara. Hingga setiap orang berlomba-lomba menambah kekayaan merek...