16. Traktiran atau Bencana?

428 35 0
                                    

Mobil yang dikendarai Devan terparkir sempurna. Ketiga penumpangnya turun bersamaan. Baik Devan yang duduk dibalik kemudi, Surya yang duduk disamping kemudi, ataupun Lano yang duduk di kursi belakang, semua kompak turun bersamaan. Jika ini merupakan serial televisi, mungkin adegan mereka saat ini akan dibuat slow motion.

"Lo yakin mau traktir kita makan disini?" Tanya Lano tidak yakin. Bukan maksud apa, hanya saja, tempat yang mereka datangi merupakan salah satu restoran yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini.

Restoran ini menyajikan menu spesial yang digemari semua kalangan. Mulai dari anak-anak, hingga orang dewasa. Mengenai harga, jangan ditanya. Sangat fantastis tentunya.

"Iya Sur, mending kita ke warung makan aja." Ucap Devan, sependapat dengan Lano.

"Udah gak apa-apa, sekali-kali gue traktir kalian makan enak. Gue juga penasaran sama menu spesial disini. Seenak apa sih menu yang dipuja jutaan orang? Hahaha."

"Lebay lo." Lano memukul pelan bahu Surya. "Tapi Sur, lo beneran yakin kan? Gue gak mau ya, lo nyesel nantinya. Terus lo catat ini sebagai hutang. Gue ini kaum rakyat jelata kalau lo lupa. Gue gak bakal mampu bayar hutang makan disini." Lanjutnya, memastikan bahwa Surya tidak akan menyesali keputusannya.

"Iya Lan.... Iya... Gue yakin kok. Lagian juga, gue gak bakal bangkrut kali. Mungkin cuma gaji sebulan gue langsung amblas. Lo kan kalau makan kayak kuli bangunan, hahaha." Canda Surya, mencairkan suasana sekaligus menghempas keraguan dibenak kedua temannya ini.

"Oke, siap-siap dompet lo tipis. Kuli ini udah bertahun-tahun gak makan makanan enak, hahaha." Bukannya tersinggung, Lano malah menanggapi candaan Surya.

"Udah ngocehnya? Kalau udah, ayo masuk. Gue udah laper nih." Devan memasuki restoran yang sudah didepan mata, meninggalkan kedua temannya yeng menggerutu dibelakangnya.

Surya dan Lano melayangkan umpatan-umpatan pelan pada Devan. Namun tak urung, mereka juga mengikutinya, memasuki restoran dengan menu yang menggugah selera.

Devan memelankan langkahnya, senyum tipis terukir diwajah tampannya, bertepatan dengan manik matanya menemukan meja yang cocok untuk mereka bertiga. "Guys, kita makan disana aja. Spotnya pas banget. Dipojok, tapi dekat jendela. Kita bisa ngobrol santai disana." Devan menunjuk meja yang dimaksudnya.

"Gak nyangka gue, Dev. Diam-diam lo suka mojok-mojok ya..." Lano mengomentari meja yang Devan pilih.

Devan melanjutkan langkahnya, menuju meja yang sedari tadi diincarnya, tanpa repot-repot menanggapi komentar tak bermutu dari Lano.

"Lah, gue dicuekin? Dasar cueker handal." Lano menggerutu pelan, yang masih bisa didengar oleh Surya.

"Cueker? Cueker ayam maksud lo?"

"Cakar Sur... Cakar.... Itu namanya cakar ayam, bukan cueker ayam... Lo pernah sekolah gak sih?"

"Lah terus, cueker itu apa?" Tanya Surya, masih tidak memahami arti kata itu.

Lano menghembuskan nafas lelah. "Itu sebutan Sur... Gini deh, dimateri olahraga ada yang namanya smash. Kalau orang yang yang melakukan smash namanya apa? Smasher kan. Kalau strike? Ya striker. Nah, kalau cuek? Ya cueker lah. Gitu aja gak paham lo." Jelas Lano panjang lebar.

Surya menepuk dahinya pelan. "Ini nih, kalau otaknya cuma separuh. Mana bisa buat mikir." Surya melenggang pergi, menyusul Devan yang sudah duduk di meja pilihannya, meninggalkan Lano yang masih berdiri didekat pintu.

"Emang gue salah ngomong ya?" Tanya Lano polos, entah ditujukan kepada siapa.

oOo

Surya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang