7. Masih Agung dan Kara

525 44 0
                                    

Surya memarkirkan motornya di halaman rumah. Kali ini, dia tidak pulang sendiri, melainkan bersama Agung. Sesuai janji, dia mengajak Agung ke rumahnya untuk bertemu sang ayah.

Agung menghela nafas berat. Dia menyiapkan mentalnya untuk menemui Pak Lukman dan menjelaskan perihal perasaannya kepada sang putri. Seharusnya Agung melakukan hal ini dari dulu. Sebelum Pak Lukman mengetahuinya sendiri atau mengetahuinya dari orang lain. Jika saja dia punya keberanian untuk mengungkapkannya dari dulu, mungkin semua ketegangan ini tidak akan pernah terjadi.

Sebagai teman yang baik, sudah seharusnya Surya menemani dan membantu Agung saat dia berhadapan dengan ayahnya nanti. Memang, awalnya Surya bertekad bahwa dia tidak akan mau membantu Agung lagi. Akan tetapi, Surya tidak akan tega melihat Agung mengalami masalah sendirian, sedangkan dia hanya menjadi penonton saja. Sehingga Surya memutuskan untuk membantu Agung sebisanya. Bukankah itu gunanya teman? Selalu ada di kala susah maupun senang.

"Rileks Gung, rileks! Gak usah tegang gitu. Katanya mau ambil psikolog, masa tenang aja gak bisa sih? Lo nanti hanya harus jelasin perasaan lo, bukannya harus pergi perang. Jadi gak usah tegang gitulah!" Ucap Surya setibanya mereka di ruang tamu.

"Enak kalau ngomong. Lah yang jalanin ini? Lo mah gak ada di posisi gue sih. Jadi lo gak bakal ngerti perasaan gue." Balas Agung tanpa melihat lawan bicaranya.

"Gue emang gak pernah ada diposisi lo, tapi gue ngerti perasaan lo. Mangkanya gue disini buat bantu lo."

"Lo gak bakal ngerti Sur, gak bakal ngerti. Lo gak bakal ngerti rasanya seperti apa. Karena lo gak ada diposisi gue.  Kalau lo bilang ngerti perasaan gue, itu semua bullshit. Nyatanya, lo ngomong gitu buat nenangin gue aja. Lo gak bener-bener ngerti perasaan gue. Jadi stop bilang kalau lo ngerti perasaan gue. Karena itu gak bakal ngaruh buat gue. Mending lo diem aja! Itu akan sangat membantu gue. Mungkin dengan ketenangan, perasaan gue bakal ikut tenang."

"Oke kalau itu mau lo. Gue bakal diem. Dan maaf kalau kata-kata gue tadi nyinggung lo. Gue sama sekali gak ada maksud buat nyinggung lo."

Serentetan kalimat yang diucapkan Surya, menutup percakapan diantara mereka berdua. Surya benar-benar membuktikan ucapannya. Dia benar-benar diam, tak bersuara. Hanya ada kesunyian diantara mereka. Keadaan itu bertahan hingga muncul sosok pria paruh baya yang sedari tadi mereka tunggu.

Pak Lukman mendudukkan dirinya di single sofa berseberangan dengan Agung. Hanya meja yang memisahkan keduanya. Pak Lukman terang-terangan mengamati penampilan Agung. Beliau mengarahkan pandangannya ke arah Agung, dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menilai. Hal itu sukses membuat keringat dingin mengucur dengan deras dipelipis Agung.

Jika dilihat dari penampilannya, Agung ini termasuk anak baik-baik. Dia menggunakan seragam sesuai peraturan, penampilannya rapi, dan sepertinya dia juga bukan tipe anak yang suka tawuran. Namun, penampilan bisa menipu bukan? Banyak juga orang yang berpenampilan baik-baik, nyatanya dia adalah seorang buronan. Jadi tidak ada salahnya untuk bersikap waspada bukan? Begitulah yang ada di pikiran Pak Lukman.

"Agung. Namamu Agung, benar?" Pak Lukman memutuskan untuk memulai pembicaraan. Setelah beliau menangkap gelagat kegugupan yang melanda teman putra sulungnya ini. Beliau tahu, pasti teman putranya ini merasa gugup karena diperhatikan sebegitu intensnya. Namun dia tidak berani untuk mengungkapkannya.

"Iya om, saya Agung, teman sekelas Surya dari kelas sebelas. Kebetulan saya teman SMP Deo, yang merupakan teman sebangku Surya sejak kelas sepuluh. Jadi kami bisa berteman dekat karena Deo." Saking gugupnya, Agung bahkan tidak sadar bahwa jawabannya sedikit tidak nyambung dengan pertanyaan Pak Lukman. Padahal, pertanyaan pak Lukman hanya mengenai nama saja. Tapi dia? Dengan gamblangnya dia menjelaskan asal-usul dia bisa berteman dengan Surya.

Surya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang