Setelah pesta usai, di ruang keluarga semua anggota keluarga Kurana berkumpul. Membahas jumlah tamu undangan yang tiba-tiba membeludak, tidak sesuai perkiraan.
Sang kepala keluarga tampak pusing memikirkan ini semua. Pengeluaran melonjak naik. Belum lagi uang cicilan rumah dan biaya sekolah si kembar, mengingat tidak lama lagi liburan berakhir.
Bagaimana ini? Uang tabungannya terkuras habis untuk pesta ini, setelah sebelumnya terambil untuk uang muka pembelian rumah.
Ditengah kekalutannya, dia mendengar suara anak dan menantunya. Mengembalikan harapan yang sempat hilang, entah kemana.
"Emb, yah. Maaf, bukan maksud apa. Tapi, bagaimana kalau Cla sama mas Surya aja yang menanggung semua pengeluaran pesta ini? Ini kan pernikahan kami, harusnya kami juga yang menanggung semuanya." Ucap Clara hati-hati. Berharap tidak menyinggung ayah mertuanya ini.
"Iya yah, Surya setuju. Ayah sebutkan saja nominalnya, biar kita ganti." Timpal Surya, sependapat dengan istrinya.
"Kamu yakin, nak?" Tanya Lukman ragu. "Ini nominalnya sangat besar, loh. Emang kalian ada uang sebanyak ini?"
"Emang habis berapa sih, yah? Kok ayah sampai ngomong kayak gitu? Ayah kan tau, Surya udah kerja paruh waktu selama dua tahun. Jadi ada tabungan lah."
Lukman menghela nafas, kemudian mengangsurkan kertas coretan berisi pengeluaran pesta pada Surya. Berat sebenarnya jika harus membebankan biaya sebesar itu pada anak dan menantunya. Tapi apa boleh buat? Dia harus egois untuk saat ini. Karena dia juga punya kebutuhan lain yang harus diprioritaskannya.
"Kalau kamu nggak ada uangnya sekarang juga nggak apa-apa, Sur. Kamu bisa cicil semampumu!" Putus Lukman pada akhirnya. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup panjang.
Surya menegang ketika memperhatikan nominal yang tertera. Namun elusan di bahunya dari sang istri mampu menormalkan kembali ekspresinya. Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menggenggam tangan sang istri yang berada di bahunya. Dan menariknya turun hingga sampai diatas pahanya.
"Ayah nggak perlu khawatir, Surya ada kok uangnya. Besok Surya transfer ke rekening ayah." Ucap Surya yang diangguki oleh Clara.
"Maaf, nak... Ayah terpaksa harus membebankan ini semua pada kalian"
Lukman merasa telah menjadi ayah yang gagal. Dia tidak bisa memberi yang terbaik pada putra sulungnya. Selalu saja putranya harus mengalah, menanggung beban yang seharusnya menjadi kewajibannya sebagai kepala keluarga. Pertama, biaya kuliah. Kedua, biaya hidupnya di kota. Dan sekarang? Biaya pesta pun juga ditanggung oleh sang putra. Masih pantaskah dia disebut sebagai kepala keluarga? Jika memenuhi kebutuhan keluarga saja tidak sanggup.
"Ssstt... Tenanglah, ayah! Ayah nggak salah, untuk apa minta maaf? Surya nggak apa-apa kok. Jadi tenanglah! Lagian juga ini semua untuk diri Surya sendiri. Sudah cukup ayah bekerja keras untuk Surya.
Sekarang, ayah hanya tinggal fokus pikirkan Bagas sama Kara aja! Lagian, Surya kan udah punya Cla, tanggung jawab Surya. Suatu saat nanti juga bakal punya anak.
Jadi, Surya sekarang udah punya keluarga sendiri yang harus Surya penuhi kebutuhannya. Dan Surya nggak mau bergantung terus sama ayah, Surya mau mandiri. Surya akan berusaha sendiri ayah... Ayah nggak perlu pikirin Surya lagi! Udah cukup ayah, udah cukup! Udah cukup Surya jadi beban buat ayah."
Lukman tak bisa berkata-kata lagi. Ucapan anaknya itu sungguh menyentuh hati. Hingga tanpa sadar dia meneteskan air mata. Dan tanpa banyak kata, dipeluknya putra sulungnya itu.
"Bodoh, siapa yang menganggapmu beban? Kamu putra ayah, putra kebanggaan ayah. Bukan beban atau yang lainnya."
oOo
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya (TAMAT)
Teen FictionLENGKAP... BELUM REVISI!!! Setiap orang pasti menginginkan terlahir dalam keluarga kaya raya. Segala keinginannya dapat terlaksana. Karena kita hidup di jaman dimana uanglah yang berbicara. Hingga setiap orang berlomba-lomba menambah kekayaan merek...