Bab 40: Penebusan Dosa

288 25 52
                                    

"Penyesalan memang adanya di akhir, jika di awal itu namanya pendaftaran."

GADIS itu masih terbaring di ranjang rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

GADIS itu masih terbaring di ranjang rumah sakit. Oksigen sebagai alat untuk membantu pernafasannya. Selang hidung dan tangan tertancap sempurna. Suara mesin pendeteksi detak jantung terus berbunyi konstan, bergema di ruangan yang sunyi.

Haura masih bernafas, bisa mendengar, jantungnya pun masih berdetak, namun matanya tetap terpejam. Tak bisa bergerak apalagi di ajak bicara.

Haura langsung dibawa ke ruangan ICU karena statusnya sudah kritis. Tak lama dari itu, dokter mengabari lagi bahwa kondisi Haura turun drastis hingga koma. Salah satu penyebabnya karena benturan keras di kepala menyebabkan kerusakan di salah satu bagian otak.

Pakaian yang semula basah kuyup kini sudah mengering. Untuk mengganti pakaian saja Fariz tak mau padahal terpenuhi banyak noda darah. Ia hanya berkeinginan saat ini bisa berada di dekat istrinya tercinta, mengelus lembut pipi hingga lengannya. Mengajak Haura berbicara, membuat lelucon, serta meminta maaf itu yang paling penting.

Namun, itu tak mungkin. Untuk sekedar masuk ia tak di izinkan. Dokter melarang ketat untuk beberapa hari ke depan membuat Fariz hanya bisa berdiam diri dari kejauhan.

Fariz menyentuh kaca, berharap sentuhannya sampai pada Haura. Matanya mulai memanas lalu dengan angkuhnya buliran bening terjun dari pelupuk mata.

"Haura, maafkan aku." Sedari tadi hanya kata maaf yang Fariz lontarkan walau tak di dengar oleh sang empu. Hatinya sakit melihat Haura terbaring seperti itu. Dadanya sesak kala mengingat Haura tertabrak tepat di depan matanya.

"Fariz!" suara lembut tertangkap oleh Indera pendengarannya. Fariz menoleh. Retinanya mendapati Oliv, Ravi, Ratih dan Vian yang baru tiba di rumah sakit.

Saat Haura ditangani oleh dokter, Fariz langsung mengabari kedua keluarga. Mereka terkejut bukan main saat mengetahui itu. Fariz tahu, saat mereka tiba di rumah sakit akan menanyakan banyak hal yang sudah menjadi konsekuensinya. Fariz harus menerima. Ia pun akan memberi tahu kedua keluarga tentang tertabraknya Rizal waktu itu. Ia sudah siap jika harus di benci, ia sudah siap jika keluarganya kecewa karenanya.

"Fariz." Kembali Oliv memanggil putranya, tatapannya penuh kekhawatiran. Hanya seorang Ibu yang mampu merasa penderitaan anaknya walau tanpa berucap kata.

"Ma." Suara lelaki itu terdengar parau.

"Sayang yang sabar, Haura butuh kamu. Jangan lemah kaya gini, kamu harus tetap tegar supaya Haura juga tegar." Oliv langsung memeluk putra semata wayangnya yang tampak kusut.

"Haura, Ibu selalu mendoakan kamu baik-baik saja, tapi kenapa sekarang kamu tertidur disana. Bangun Haura. Ibu disini," lirih Ratih. Air matanya langsung bercucuran. Perasaan buruknya benar-benar terjadi.

Ratih memeluk Vian, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang putranya. Ia tak sanggup jika harus melihat putri bungsunya terbaring tak bisa apa-apa di ranjang itu. Vian mengelus lembut punggung sang Ibu. Lalu membantu Ratih duduk di kursi yang berjejer di koridor rumah sakit.

Cinta & Rahasia [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang