45. Kesempatan kedua

1.4K 125 143
                                    

Happy Reading!

............

Waktu yang begitu ia takutkan akhirnya tiba. Hari dimana yang akan menjawab harapannya telah di depan mata.

Selama ini Stela selalu merasa was-was. Takut jika harapannya yang begitu tinggi akan kesembuhan penyakit kankernya  dengan mudah hancur apabila proses kemoterapi pertamanya gagal.

Tetapi sejauh ini Stela memang sudah menyiapkan segalanya mulai dari fisik hingga mentalnya. Meskipun begitu, tetap saja rasa cemas dan khawatir itu kini menguasai dirinya.

Detak jantungnya berpacu begitu cepat membuat dadanya terasa sesak. Sejak memasuki rumah sakit sepuluh menit yang lalu pun kepalanya tidak pernah absen untuk tidak berdenyut.

Kini, pening mulai mengambil alih kepalanya.

Stela sedikit menguatkan jambakan pada rambutnya. Rasa sakit itu semakin menjalar menimbulkan getaran ringan di tubuhnya.
Sulit untuk dirinya mendeskripsikan rasa sakit itu. Dan memang tidak akan bisa jika dideskripsikan hanya menggunakan untaian kata saja.

Buru-buru Stela mengambil obat di dalam tas kecilnya. Ia menelan obat itu tanpa air minum. Setelah obat itu tertelan kurang lebih dua menit, perlahan rasa sakitnya hilang. Meskipun tidak hilang sepenuhnya tapi Stela bersyukur karena tidak sesakit awal.

"Udah lama?"

Lantas Stela berdiri dan menyalimi tangan Pamannya. Agus tersenyum seraya mengelus pucuk kepala keponakannya. Agus tidak percaya bahwa kini ia akan membantu proses kemo keponakannya sendiri.

"Lumayan sih, mungkin sekitar sepuluh menit."

"Maaf ya. Tadi Paman habis nanganin pasien lain."

"Gak pa-pa kok Paman. Gak perlu minta maaf, itukan udah jadi kewajiban Paman untuk stay sama pasiennya."

Agus tersenyum, ternyata Stela sudah dewasa dalam menyikapi sesuatu. Tidak seperti dulu yang sedikit agak manja dan pembangkang. Mungkin ini efek dari hidup dengan segala tekanan yang gadis ini alami.

"Ponakan Paman ternyata sudah dewasa ya? Paman jadi tambah bangga sama kamu." Agus mengucapkan itu sangat tulus dan Stela dapat merasakannya.

"Kamu datang dengan siapa?"

Stela tersenyum kecil, melihat Pamannya yang melirik sana-sini seperti mencari orang lain dan ketika tidak menemukan siapapun Agus menatapnya teduh. Seolah tak perlu ia jawab pun Agus tau.

"Sendiri?" Tidak ada niat lain, Agus menanyakan itu pure hanya untuk memastikan saja.

"Ya begitulah Paman. Memangnya Paman mengharapkan aku datang ke sini dengan siapa? Ibu dan Ayah? Atau Abang? Itu jelas tidak mungkin. Paman bisa simpulin itu sendiri."

"Oh ya, kamu sudah siap untuk menjalankan kemoterapi? Kalau kamu belum siap dan berubah pikiran. Stela bisa kemo minggu depan jika Stela setuju." Agus sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

Namun, Stela menggeleng kecil. Ia ingin segera sembuh, maka dari itu ia tidak akan menyia-nyiakan waktu yang ada. "Stela sudah siap Paman. Bahkan dari dua bulan yang lalu."

Agus lega mendengarnya. Syukurlah jika memang benar begitu adanya. Jadi tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi.

"Mari ikut Paman, kita akan menuju keruangan dimana nanti kamu akan kemo."

Keduanya berjalan bersama menuju tempat yang dimaksud Paman. Disela-sela langkahnya tidak lupa Paman memberi arahan juga semangat pada Stela. Agar gadis itu tidak terlalu tertekan nantinya.

Stela sebagai pendengar hanya mampu mendengarkan dengan seksama. Sesekali juga ia menyahuti jika Paman menanyakan dan menjelaskan sesuatu perihal efek penyakitnya ketika kambuh dan proses kemo.

Story StelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang