17. TENTANG HARAPAN

121 22 6
                                    

Patah hati terbesar diciptakan oleh harapan kita yang terlalu besar.

-Rachel

❤️✨

Rachel berdiri didepan gerbang rumah Rangga. Ia menunggu lelaki itu berharap bisa mengantarnya menuju sekolah. Dan saking tidak sabarnya, ia memanjat rumah Rangga.

Ia merapihkan sedikit tampilannya. Namun, saat ia hendak mengetuk pintu. Ia dikejutkan dengan suara bentakan Fahri.

"Hukuman tetap hukuman Rangga. Pertanggung jawabkan semuanya. Ayah harap, kamu tidak lagi membuat ulah,"

" Tapi yah, kalau bensin Rangga habis lagi gimana?"

Fahri tak tega juga. Bagaimanapun, Rangga adalah anak satu-satunya. Perjalanan dari rumah menuju sekolah lumayan jauh juga.

Fahri merogoh sakunya, "Nih, uang bensin. Untuk jajan, lebih baik kamu bawa bekal dari rumah," katanya seraya pergi.

Rachel lantas bersembunyi. Sedangkan Rangga, ia menatap uang pemberian ayahnya itu.

"Dua puluh ribu? Enam hari masih lama," katanya lesu.

Ia berjalan gontai menuju dapurnya. Mengambil beberapa roti di lemari pendingin dan mulai mengolesnya dengan selai. Sungguh, ia ingin Lyra ibunya disini. Jika beliau masih hidup, mungkin hidupnya tak akan seperti ini.

Rachel kembali memanjat pagar dan berlari menuju rumahnya. Padahal, gerbang sudah dibuka oleh Fahri. Definisi mempersulit hidup yang mudah.

Rachel mengambil uang simpanannya, dan mencari sebuah amplop ciri khas pemberian Mahendra.

Biasanya, jika berkunjung Mahendra selalu memberikan semua cucunya uang dari amplop dengan ciri khas stempel merah inisial M. Rachel sengaja memasukan uangnya kedalam amplop itu. Karena Rachel yakin, Rangga tak akan menerima uang jika ia yang memberikannya.

Sekarang Rachel paham. Kemarin, Rangga bukan tidak membawa dompet. Namun, ia tak memiliki uang untuk itu.

Tinggi sekali gengsinya.

❤️✨

"Bang Rangga!" Panggil Arsya.

Rangga menoleh, "Kenapa Sya?"

Arsya menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat itu, "Nih, dari kakek," katanya.

Senyum Rangga merekah, "Serius? Makasih ya. Sya!"

Arsya mengangguk, "Iya bang. Ya udah, gue cabut duluan ya!"

"Oh iya,"

Rangga membukanya perlahan. Tampaklah tiga lembar uang pecahan seratus ribu. Yang Rangga tahu, ini adalah uang sakunya Minggu ini dari kakeknya.

Tapi pertanyaannya, kapan Mahendra berkunjung? Bukankah kakeknya itu sedang sibuk? Tapi, ya sudahlah. Mungkin ini adalah keberuntungan untuknya.

Disisi lain, Rachel tersenyum. Semoga saja uang itu bisa membantu Rangga.

"Chel, waktu itu tetangga gue dikampung senyum-senyum sendiri. Eh besoknya mati," ujar Afifah.

Rachel menoleh, tadinya ia hendak memaki sahabatnya ini. Namun, setelah melihatnya Rachel menganga dengan mata yang membulat.

"Assalamualaikum, ukhti," ujar Rachel dengan keterkejutannya.

"Waalaikumussalam anak dajal!" Ketus Afifah.

"Lo hijrah?" Tanya Rachel.

Bayangkan saja, si julid Afifah saat ini memakai jilbab dan seragam yang panjang.

"Jangan banyak bacot lo. Gue sedang mencoba memperbaiki diri," katanya.

Rachel mengangguk, "Baguslah. Kurang-kurangi julid sama hobby marah-marahnya,"

Afifah merangkul sahabatnya itu, "Kalau Vania lihat gue gimana ya? Dia bakal kaget gak menurut lo?"

"Kaget sih pasti ya. Tapi, dari kelas sepuluh lo emang tobat sambel. Udah tobat, terus kalau ngerasa ada yang kurang, balik lagi ke semula," tutur Rachel.

"Gak Chel. Gue ingat kata pak Samsul, kalau kita bisa memperbaiki diri dari kewajiban dulu. 'kan kewajiban wanita itu menutup auratnya. Nah, gue nutup aurat gue dulu sambil memperbaiki akhlak," jawabnya.

"Ya udah deh. Gue bantu do'a aja. Oh iya, ngomong-ngomong nih. Gue olimpiade sosiologi waktunya barengan sama anak IPA yang olimpiade sains. Tapi ya, gedungnya beda dan gue gak satu bus sama Rangga,"

"Kasihan sekali anak bapak Azka ini," goda Afifah.

"Ya begitulah. Kira-kira, kalau dari satu sampai sepuluh. Kemungkinan gue buat sama Rangga berapa menurut lo?"

Afifah nampak berpikir, "Dua kayaknya, atau satu?" Jawabnya.

Rachel menatap jengah sahabatnya ini. Sungguh, dari dulu Afifah selalu memintanya untuk tak berharap lebih pada Rangga. Katanya, patah hati terbesar diciptakan oleh harapan kita yang terlalu besar.

"Lo masih ingat 'kan Chel?"

"Apa?"

"Patah hati terbesar-"

"Diciptakan oleh harapan kita yang terlalu besar!" Lanjut Rachel memotong perkataan Afifah.

"Nah, itu tahu!"

❤️✨

Rachel menyelinap ke kelas Rangga. Hari ini, ia terlambat memasukan rotinya untuk Rangga. Untung saja, kelas lelaki itu sepi.

Ia berjalan mengendap-endap dengan dua sahabatnya yang berjaga-jaga di depan. Sebentar lagi, waktu istirahat berakhir.

"Chel, cepat!" Teriak Afifah.

Vania sudah berkeringat, ia takut ketahuan. Bisa-bisanya Rachel mengajak sahabatnya yang satu ini dalam keadaan menegangkan.

Mereka melihat Rangga dan kedua sahabatnya berjalan mendekat, sedangkan Rachel masih merapikan tas Rangga.

"Chel, Rangga semakin dekat!"

Rachel menoleh lalu segera keluar. Tapi sayang, hanya tinggal beberapa langkah saja Rangga sampai. Bahkan, lelaki itu sudah melihat dua sahabatnya dan melihat juga Rachel keluar dari kelasnya.

"Lagi ngapain kalian?" Tanya Gevin.

Rachel yang baru keluar tersentak, "Lagi nyari Bimo, ketua pramuka. Mau ada perlu soal ekstra buat milad sekolah," jelas Rachel lancar.

Nando mengangguk, "Jam segini, dia lagi di perpustakaan. Lagi persiapan buat lomba juga kalau gak salah,"

"Oh gitu, pantas aja gak ada,"  ujar Rachel sambil melirik Rangga yang sedari tadi memalingkan wajahnya.

"Oh iya, selamat ya Chel. Akhirnya, kemarin lo jalan juga sama Rangga," goda Gevin.

Rachel menatapnya tak mengerti. Sedangkan Rangga mendelik tidak suka.

"Diam lo!" Sungutnya kesal.

6 Mei 2021
Aas

DIARY RACHELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang