Berkali-kali Tara menggerutu, melihat bagaimana lalu lalang kendaraan bermotor di jalan sempit pinggiran kota yang saat ini dilaluinya, menghambat laju mobil sedannya. Membuatnya berkali-kali harus mengerem mendadak karena tak tertibnya pengendara di sekitar jalan itu. Penumpang dan pengemudi motor yang tak memakai helm, angkot yang mengetem, bahkan delman yang mendadak berhenti untuk mengambil penumpang. Ditambah aspal jalan yang sudah rompal di sana sini, membuatnya mobil sedannya sakit badan.
Jika bukan karena rekomendasi Evan, ia tak akan mau jauh-jauh datang ke pinggiran kota seperti ini. Akan kuomeli dia nanti.
"Katanya tempat ini oke banget buat mancing, mas. Temen saya tempo lalu datang ke sini," promosi Evan minggu lalu sambil memperlihatkan foto-foto di internet tentang tempat yang dimaksud. Sebuah danau luas yang dikelilingi hutan belantara.
Tapi siapa sangka, untuk sampai ke tempat itu Tara harus melalui perjalanan yang penuh emosi.
Beberapa kilometer setelah jalan raya yang sempit itu, Tara mulai santai karena melewati jalanan pedesaan yang di kanan kirinya ada sawah dan ladang yang memanjakan mata. Kendaraan yang melewati jalan ini sangat jarang. Namun tak lama ia dihadapkan pada jalan lain yang terjal dan menanjak. Tara meminggirkan mobil sedannya sesaat, memantau seberapa terjal tanjakan di hadapannya. Ia kemudian membuka pintu mobilnya, keluar dari sana.
Tara mematung, apa si hitam akan kuat? Tak berselang lama, sebuah mobil pick up yang atapnya ditutup terpal warna hitam melintas di hadapan Tara. Dilihatnya dibawah terpal itu ada beberapa penumpang terduduk berjejalan dengan barang-barang dalam karung. Sepertinya itu angkutan desa, pikirnya lagi.
Tara mulai menimbang, jika angkutan desa itu saja kuat, pasti si hitam lebih kuat lagi. Ia yakin akan pilihannya, dengan percaya diri ia masuk lagi ke dalam mobil dan mulai menginjak pedal gas perlahan.
Namun lagi-lagi jalan menanjak di hadapannya tadi tidak bisa diprediksi. Ternyata selain menanjak, si hitam harus melewati belokan tajam yang semakin atas terasa semakin menyempit. Ini seperti lintasan terrain untuk balapan. Untungnya aspal jalan saat ini lebih manusiawi dibanding di pinggiran kota sebelumnya. Dengan adrenalin yang semakin memacu, Tara berjuang bersama si hitam melewati lintasan terrain itu.
Tara menghela nafas lega setelah berhasil melewati lintasan tadi. Saat ini si hitam kembali melenggok di jalanan desa lagi dengan pemandangan ladang dan pohon-pohon pinus. Di hadapannya kembali ia melihat tanjakan panjang yang lurus, namun ia lebih percaya diri karena tanjakan itu tak seberapa dibanding jalan yang baru saja dilaluinya tadi. Sambil tersenyum percaya diri, ia sampai di tempat tujuan yang dimaksud.
Sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa bangunan dan tangki-tangki berukuran raksasa yang menyeburkan uap, menyapa Tara. Evan sudah memberitahunya jika danau itu ada di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di daerah sini. Tara kemudian memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu gerbang masuk kawasan PLTU. Ia kemudian keluar, hendak bertanya kepada satpam yang berada di pintu gerbang itu.
Bau belerang menyapa indera penciuman Tara, ditambah udara dingin yang mulai menusuk. Untung ia sudah diingatkan juga oleh Evan, untuk memakai baju hangat.
***
Seorang lelaki paruh baya yang bertugas sebagai satpam di kawasan PLTU itu, dari jauh sudah memperhatikan mobil sedan berwarna hitam metalik yang terparkir tak jauh dari posnya. Lelaki tinggi tegap dengan balutan sweeter warna abu-abu keluar dari sana dan melangkahkan kaki mendekatinya.
"Punten Pak, danau ieu aya di palih mana nya?" tanya Tara pada sang satpam, dengan bahasa Sunda yang kaku. Ia bisa sedikit karena pernah berkuliah di Bandung.
Sang satpam yang mendengar logat Sunda kaku itu tentu saja tahu, jika Tara adalah pendatang. Ia menjawab dengan bahasa nasional.
"Oh, di sebelah sana ada pintu masuk kecil lewat kawasan. Nanti tinggal ikutin saja jalan setapaknya. Terus ke bawah," jelas sang satpam dengan logat Sunda kental, sambil menunjukkan arah yang dimaksud.
Tara melihat sebuah pagar dari ram kawat yang sebagiannya terbuka, selebar badan manusia, sekitar 30 meter dari posisinya.
"Mobil saya apa bisa di parkir di situ?" tanya Tara kemudian.
"Masukin ke sini saja Pak, biar aman," tawar sang satpam sambil membuka pintu gerbang itu.
Ini memang hari libur, tak ada karyawan yang masuk, kecuali beberapa petugas lapangan yang berjaga bergantian 24 jam.
Tara menyambut hangat tawaran sang satpam dan dengan setengah berlari ia menghampiri mobilnya, masuk ke dalamnya kemudian memasukkannya kembali ke tempat parkir yang lebih nyaman.
Tak lama kemudian Tara masuk lebih jauh ke dalam kawasan PLTU itu, melewati tangki-tangki raksasa yang tadi dilihatnya dari kejauhan. Seperti yang dikatakan satpam tadi, sebuah jalan setapak menjadi penanda bagi pejalan kaki yang hendak mengunjungi danau. Sekitar 10 menit melewati kawasan tangki-tangki raksasa itu, Tara kembali melihat pagar dari ram kawat yang sebagiannya terbuka seperti pintu masuk tadi. Ah sepertinya masuk kawasan ini jalan singkat menuju danau, tebaknya.
Dan tebakan Tara benar. Setelah itu ia memasuki hutan yang berjejer di kanan kirinya pohon-pohon setinggi 2-3 meter. Sejenak ia khawatir akan tersesat, namun ia melihat tanah yang diinjaknya memiliki pola seperti jalan setapak yang sering dilalui orang. Pola itu tampaknya memang dipersiapkan untuk para petualang seperti dia. Dengan percaya diri ia mengikuti pola itu sambil menikmati suara hewan-hewan kecil di dalam hutan.
Cukup lama bagi Tara untuk melewati hutan itu, sampai pada akhirnya ia melihat sebuah pandangan menakjubkan. Di ujung hutan tadi terbentang danau yang berkilau memantulkan bayangan pohon-pohon di sekitar danau dan cahaya matahari hangat yang sudah seperempat tingginya di langit.
Tara berhenti sejenak dan tersenyum puas. Namun untuk sampai di danau itu, ia harus menuruni gunung yang ditutupi hutan itu. Dengan hati-hati Tara berpegang pada dahan di sekitarnya menyusuri turunan terjal itu. Sampai akhirnya kakinya berada di atas tumpukan batu alami, di pinggiran bibir danau.
Tara kembali menghela nafas lega. Diedarkan pandangannya melihat sekeliling. Beberapa tenda tampak menghiasi pinggiran danau. Tempat yang bagus untuk kemping. Ia kemudian memilih sisi yang agak jauh dari tenda-tenda itu, butuh tempat tenang untuk memancing.
Dilihatnya lokasi lain yang terdapat sekitar 4 orang dengan jarak agak renggang, tengah memancing juga. Ia menimbang untuk bergabung di titik pancing itu, menebak jika lokasi tersebut titik favorit para pemancing.
Tara kemudian menurunkan tas ransel yang berisi perlengkapan memancingnya. Ia mengambil posisi agak jauh dari para pemancing lain. Beberapa menit kemudian ia akhirnya berada dalam ketenangan memancing yang menjadi hobinya selama ini. Danau ini benar-benar lokasi tepat untuk menenangkan pikiran dan menyalurkan hobinya. Harusnya dari dulu aku tahu lokasi ini, katanya dalam hati.
Perlahan matahari mulai berada di tengah cakrawala. Ia membuka topi yang sejak tadi dipakainya, membenahi posisinya. Rerimbunan pohon disekitar mulut danau untungnya menjadi peneduh juga dari pantulan matahari tengah hari ini. Tara masih menunggui hasil pancingannya sambil mendengarkan suara riak air danau yang perlahan dihempas angin. Sebuah ketenangan yang tak ia dapatkan di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Namun tak selang lama, sebuah suara memecah ketenangan itu.
"Pak Tara?" sapa seseorang, Tara menolehkan wajahnya ke arah suara.
Seorang lelaki tinggi tegap dan berkacamata, tersenyum ramah menyapanya. Chandra?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Ganda
RomanceTAMAT Berlanjut ke Season 2 *** Nawasena Tara, usia 37 tahun dan pecinta warna abu. Pria berwajah tampan maskulin dengan tubuh atletis dan karir serta latar belakang keluarga cemerlang itu, masih memilih hidup dalam kesendiriannya. 13 tahun lalu, se...