Bandung, 18 tahun lalu
Dengan langkah terburu-buru Tara menyusuri selasar kampusnya menuju gedung perkuliahan jurusannya. Hari ini jadwal ujian pagi dari dosen pengampu mata kuliah yang terkenal galak, telat sedikit tidak boleh masuk. Dilihatnya mahasiswa lain yang berjalan di selasar itu juga banyak yang terburu-buru, mungkin senasib dengannya.
Lebih parahnya lagi, pagi ini dia tak dapat tempat parkir di dekat gedung jurusannya itu. Dia harus parkir di tempat lain yang cukup jauh dari jurusannya.
"Permisi.. permisi.." Berkali-kali Tara menyalip langkah mahasiswa lain yang lebih lambat.
Sementara seorang mahasiswi dengan hati-hati membawa model miniatur karya bangunannya, berjalan di selasar yang sama. Ia berjalan agak lambat untuk menghindari gesekan dengan pejalan kaki lain. Namun sebuah suara memanggil namanya dari belakang menghentikan langkahnya.
"Praya..!" seru suara dari belakang itu.
Praya menoleh ke arah suara. Bersamaan dengan itu Tara yang sedang terburu-buru dibuat kaget dengan langkah lain yang mendadak berhenti di depannya.
Brakk..
Tara terkaget, tak sengaja ia menabrak mahasiswa lain yang sedang membawa benda terbuat dari kayu. Benda itu jatuh ke lantai selasar, membuat para pejalan kaki lain harus melipir karena khawatir menginjak benda yang terjatuh itu. Dilihatnya mahasiswa itu- yang tak lain adalah seorang gadis- terperangah sejenak, kemudian menatapnya. Tapi Tara tak punya waktu untuk membantu sang gadis merapikan benda yang bercecer itu.
"Sori.." katanya singkat sambil meneruskan langkah terburu-burunya.
Praya mematung beberapa detik, melihat pemuda yang menabraknya itu dengan tak peduli berlari kecil. Ia kemudian tersadar dengan karya yang tadi dibawanya kini bercecer di lantai selasar. Tak punya waktu untuk menghardik si pemuda tak bertanggung jawab itu, ia berjongkok dan merapikan karyanya.
"Duh, maaf Ay."
Seseorang yang memanggilnya tadi dengan rasa bersalah membantu Praya merapikan karyanya. Dilihatnya wajah gadis itu setengah ingin menangis melihat model miniaturnya tercecer beberapa bagian.
Praya bergeming dengan kehadiran orang itu, seorang mahasiswa yang tak lain adalah seniornya di jurusan. Chandra.
"Nanti aku bantuin benerin, Ay. Kapan pengumpulan?" kata Chandra menenangkan Praya.
"Jam 9, Kak." jawab Praya berusaha menahan tangisnya.
"Masih keburu. 2 jam cukup."
Chandra dan Praya kemudian bergegas ke ruang studio di jurusan mereka.
***
Tara kembali menghabiskan hari perkuliahan terakhirnya setiap minggu, di perpustakaan pusat di kampusnya. Sampai perpustakaan ditutup, ia akan duduk di kursi perpustakaan favoritnya, di salah satu pojok ruang. Membaca novel-novel klasik yang menjadi hiburannya selama ini. Seperti hari ini, ia baru saja menyelesaikan membaca salah satu novel karya Mark Twain, Following the Equator.
Tara kemudian melirik jam dinding di ruang perpustakaan itu, tinggal 1 jam lagi perpustakaan akan tutup. Ia memutuskan untuk meminjam novel lain, untuk ia bawa pulang dan menemani libur akhir pekannya. Setelah menyimpan novel yang tadi ia baca ke tempatnya semula, ia menyisir deretan novel lain di rak yang berjajar di hadapannya. Tak lama matanya menangkap judul novel yang membuatnya tertarik. Namun belum sempat mengambil novel incarannya, sebuah tangan lain lebih dulu menarik novel itu dari tempatnya.
Tara mematung sesaat, novel itu kini di tangan seorang gadis. Dilihatnya sang gadis membuka isi novel dan membacanya. Tara menunggu, berharap si gadis segera meletakannya kembali. Namun sampai beberapa menit, si gadis masih berdiri membaca novel itu. Ia tak sabar dan menyela si gadis.
"Hei, kamu mau pinjem novel itu gak?" tanyanya.
Praya, yang sedang membaca novel berjudul Pride and Prejudice, karya Jane Austin, merasakan seseorang berbicara padanya. Ia menolehkan wajahnya dan didapatinya seorang pemuda tengah menatapnya, menunggu jawaban.
"Kamu nanya ke aku?" tanyanya, setelah dilihatnya tak ada orang lain lagi di sekitar mereka.
"Iya, kamu mau pinjem itu gak?" tanya pemuda itu lagi.
"Aku baca dulu bentar, kalo bagus aku pinjam," jawabnya.
"Ah. Gini deh. Kamu baca yang lain aja, aku mau pinjam novel itu," usul si pemuda.
"Kenapa gak kamu aja yang baca yang lain?" Praya tak mau menuruti usul pemuda.
"Aku mau pinjem yang itu." Si pemuda masih mendesaknya.
"Yaudah tunggu."
Tara mendesah, mendengar gadis di hadapannya masih keras kepala tak mau menuruti usulnya.
"Kita suit aja gimana?" usul Tara lagi pada si gadis.
Praya mulai merasa tak nyaman dengan gangguan si pemuda itu, dengan sedikit kesal ia menjawab usul si pemuda.
"Yaudah, aku jadi pinjam ini," katanya sambil berlalu.
Tara kembali mematung ditinggalkan dengan cara seperti itu oleh si gadis. Sia-sia ia menunggunya dari tadi.
***
Akhir pekan berikutnya, Tara menyisir lagi rak-rak buku di perpustakaan itu. Tak sengaja didapatinya novel yang minggu lalu jadi incarannya sudah bertengger manis di tempatnya semula. Ia kemudian menariknya ke luar rak dan membawanya ke meja baca favoritnya.
Ketika ia membukanya, tak sengaja ia melihat kartu buku di dalam amplop yang berisi catatan peminjaman buku perpustakaan. Amplop itu terselip di dalam sampulnya. Dicabutnya kartu itu, disana tertera data nomor mahasiswa beserta namanya dan tanggal pinjam serta tanggal kembali buku.
Tara melihat nama terakhir yang membaca novel itu, si gadis yang ditemuinya minggu lalu. Praya Andhira. Diliriknya nomor mahasiswa si gadis yang ternyata satu angkatan dengannya, namun beda jurusan. Tapi ia tak peduli, dimasukkan lagi kartu itu ke amplopnya dan melanjutkan kegiatan membacanya.
***
Di akhir pekan lain, Tara terpaku melihat seseorang berada di kursi dan meja favoritnya, di salah satu pojok perpustakaan. Ia memutuskan untuk duduk di kursi lain, namun ia masih merasa tak nyaman. Posisi kursi favoritnya itu ada titik paling pas ketika membaca, di hadapan meja itu ada pemandangan hijau ke arah luar perpustakaan yang sangat menyejukkan mata. Dengan ragu, ia mendekati seorang gadis yang tengah duduk di kursi keramatnya.
"Hei, apa kamu bisa pindah ke kursi lain?"
Praya merasa terganggu dengan suara yang ia dengar di sebelahnya. Ia tolehkan kepalanya ke arah suara. Dilihatnya seorang pemuda yang berperawakan tinggi, memakai kaos polo warna abu cerah dan celana jeans warna hitam, berdiri tak jauh dari tempat duduknya.
"Kenapa aku harus pindah?" tanya Praya keheranan.
"Itu kursiku, aku biasa duduk disitu," jawab si pemuda.
"Kursi ini kan punya perpustakaan, bukan milik pribadi. Kamu bisa cari kursi yang lain," tanggap Praya tak mau mengalah.
"Tapi aku biasa duduk di situ." Si pemuda memaksa.
Praya akhirnya bergeming, tak mau ribut di perpustakaan. Ia kemudian berdiri dan menggeser kursi yang didudukinya ke hadapan pemuda itu.
"Ini aku kasih. Silakan kamu bawa." katanya.
Tara kembali mematung melihat apa yang dilakukan si gadis. Aku gak butuh kursinya, aku butuh posisinya, ingin ia mendebat seperti itu namun ia urungkan. Dengan kesal ia berlalu menjauh dari hadapan si gadis.
Sementara Praya melihat si pemuda berlalu begitu saja menjadi tambah bingung, apa sih maunya? Katanya mau kursi. Dasar aneh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Ganda
RomanceTAMAT Berlanjut ke Season 2 *** Nawasena Tara, usia 37 tahun dan pecinta warna abu. Pria berwajah tampan maskulin dengan tubuh atletis dan karir serta latar belakang keluarga cemerlang itu, masih memilih hidup dalam kesendiriannya. 13 tahun lalu, se...