[26] Timbunan Asa

351 40 0
                                    

3 bulan kemudian

Mobil van warna putih melintasi jalanan komplek yang di kanan kirinya pohon-pohon rindang bejajar gagah menjadi peneduh jalan. Kendaraan itu kemudian berhenti di salah satu rumah dengan warna putih mendominasi dan halaman luas di depannya. Pagar di rumah bergaya kolonial itu kemudian terbuka, disambut oleh penghuni rumah yang telah menunggu di depan pintu masuk.

Seorang lelaki dan wanita paruh baya, keluar dari mobil itu. Tak lama dua anak lelaki yang daritadi menunggu, kemudian menghambur ke arah mereka, "Omaa.. Opaa..", seru mereka sumringah.

Praya tersenyum melihat kedua orang tuanya mengunjunginya di kediaman mertuanya itu. Dilihatnya sang mertua menyambut besannya itu dengan ramah seperti biasa.

"Kenapa kasih kabar mendadak, Mah?" kata Praya kemudian sambil mencium tangan ayah dan ibunya itu.

Ibunya tersenyum sendu, "Lagi kangen aja sama cucu-cucu."

Ibu dan ayah Praya juga dikabari mendadak oleh besannya, tentang ada hal penting yang perlu dirembukkan oleh keluarga besar itu. Kedua orang tua Praya masuk lebih jauh ke ruangan dalam rumah itu. Sudah ada keluarga lain yang menunggu, kedua anak dari besannya.

"Ay, sini Adya sama Mbak aja," pintu seorang wanita, kakak ipar tertuanya. Arina Sagara.

Praya kemudian melepaskan gendongan Adya pada Arina. Sudah seminggu ini anak tertua mertuanya itu, berserta suaminya, datang jauh-jauh dari Australia.

"Ayo Arka sama Arya kita main sama om dan tante yuk di atas," ajak Arina kemudian pada dua bocah di hadapannya yang disambut riang.

Praya kemudian bergabung bersama keluarga besar yang sudah menunggunya di ruang tengah. Didapatinya kedua orang tua dan besannya, serta ipar keduanya terdiam cukup serius di ruangan itu. Ia kemudian duduk di sebelah ibunya.

Mertua lelaki Praya membuka perbincangan, "Mohon maaf sebelumnya, saya mendadak meminta bapak ibu untuk hadir hari ini," bukanya.

"Bima, coba kamu jelaskan tentang perkembangan pencarian Chandra," pinta sang ayah pada anak keduanya.

Bima menarik nafas cukup panjang, berusaha menenangkan dirinya. Sudah dua bulan terakhir ia bergabung dalam pencarian Chandra dengan tim SAR yang secara pribadi dibiayai oleh ayahnya.

"Selama tiga bulan ini kami sudah berusaha untuk mencari Chandra, bahkan sampai ke pulau-pulau kecil di sekitar lokasi bencana," tuturnya sebagai pendahuluan.

Bima melanjutkan, "Dan sejauh ini tak ada tanda-tanda ditemukan keberadaan Chandra_" lanjutnya, dirasakan sesuatu tertahan di lidahnya.

Mendengar penuturan Bima, Praya merasakan sesuatu tak menyenangkan akan menjadi perbincangan keluarga besar ini.

"Oleh sebab itu, keluarga kami memutuskan untuk menghentikan pencarian__"

Praya bergeming, "Mas.. Enggak.. Kita masih harus cari Mas Chandra_"

"Bahkan walaupun kita cuma dapat jasadnya aja__" lanjut Praya, dirasakan wajahnya memanas lagi.

"Dari pihak saya sendiri, menyerahkan semua keputusan kepada keluarga ini," ujar ayah Praya meneguhkan keputusan besannya.

Lagi-lagi Praya berontak, " Enggak, Paah. Bantu Aya untuk cari Mas Chandra. Aya mohon, Paah__" Kali ini tangis Praya pecah.

Sang ibu mengambil alih, "Ay, ikhlaskan Chandra. Kita udah berusaha," bujuknya sambil memeluk anak sulungnya itu. Dirasakan tubuh anaknya bergetar mengeluarkan tangisnya yang tak ditahan-tahan.

Cukup lama hanya tangisan Praya yang mengisi suara di ruang tengah itu. Semua mata hanya menatap kosong pada takdir yang sudah digariskan untuk Chandra. 

"Bima, hubungi pengacara untuk urus surat kematian Chandra dan mengumumkannya. Minta sekretaris Chandra juga untuk mengundangkan rekan-rekannya, kita laksanakan solat ghaib besok," kata sang ayah sebagai keputusan akhirnya, disambut tangisan histeris Praya yang lebih menyayat hati.

***

Evan tertegun, membaca pesan di ponselnya. Sebuah pengumuman berita kematian Chandra dan undangan pelaksanaan salat ghaib di kediaman orangtua rekan perusahaannya itu. Dengan terburu-buru ia bangkit dari kursinya dan menemui Tara di ruang sebelahnya.

"Pak__" seru Evan tanpa mengetuk pintu ruang atasannya itu.

Tara bergeming melihat sekretarisnya yang masuk secara tiba-tiba, membuyarkan fokusnya pada dokumen yang tengah dibacanya.

"Pencarian Pak Chandra dihentikan. Kita diundang untuk solat ghaib besok," tutur Evan.

Tara terdiam beberapa saat, "Kirim karangan bunga ke kediamannya," tanggapnya kemudian dengan nada berat.

Tanpa banyak berkata lagi, Evan berpamitan dari ruangan itu. Menyisakan Tara yang  hanya bisa menatap hampa dokumen di meja kerjanya. 

***

Rumah bergaya kolonial itu kali ini dipenuhi oleh karangan bunga ucapan bela sungkawa. Sebagai keluarga terpandang, karangan bunga itu merupakan simbol perhatian dari  rekan-rekan perusahaan ayah Chandra maupun rekan-rekan yayasannya sendiri. Sepanjang jalan komplek tengah berjejer berbagai ukuran dan warna karangan bunga. Pekarangan rumah yang luas itupun kini dipenuhi oleh orang-orang yang hendak melaksanakan solat ghaib. Bahkan sebagian jalan komplek di depannya harus ditutup untuk menampung jumlah jamaah.

Seorang lelaki separuh baya yang bertugas sebagai imam solat memulai ritual itu tepat jam 10 pagi. Tara berada diantara jamaah yang dengan khusyu mendoakan kepergian Chandra. Ia masih mengingat sosok hangat itu dan senyuman ramahnya, masih merasakan kedekatan yang membuatnya nyaman mengobrol selama berjam-jam. Walau pertemuan mereka sangat singkat.

Setelah ritual solat ghaib itu selesai, tak lama seorang lelaki yang dirasa seusia Chandra mengambil alih posisi imam. Ia yang mengaku sebagai rekan Chandra sejak kuliah, menuturkan kesan terakhir terhadap almarhum. Dituturkannya kebaikan-kebaikan Chandra yang dikenang oleh teman-temannya selama kuliah. Lelaki itu menuturkan dengan nada berat yang membuat dadanya kembali sesak. Ia berusaha menahan bibirnya bergetar. Beberapa menit kemudian, kumpulan jamaah itu mulai sedikit demi sedikit meninggalkan kediaman almarhum.

Keheningan kembali menyelimuti rumah besar itu. Hanya suara tawa ketiga bocah kecil yang menjadi irama pemecah kebisuan, mereka hanya belum paham kenapa sang ayah tak juga pulang ke rumah.

***

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang