[10] Rasio Bahagia

453 50 0
                                    

Tara merasakan ada yang tak biasa ketika ia membuka pintu unit kondominium yang menjadi tempat tinggalnya. Didapatinya ruangan yang serba monokrom itu, kini dipenuhi oleh warna warni lain yang berasal dari beberapa vas bunga di meja dan sudut-sudut ruangannya. Tapi iya tak merasa kaget, ia tahu siapa yang mendekor ruangannya itu. Mamah.

Seorang wanita paruh baya tak lama keluar dari kamar Tara. Celemek bermotif bunga menutupi bagian depan tubuh wanita itu.

"Sayang, kamu pulang lebih cepet?" sapa sang ibu, melihat anak semata wayangnya tengah berdiri di depan pintu masuk unit.

Sang ibu kemudian mendekati Tara, mencium pipi kanan dan kirinya dengan riang. Tara hanya diam membatu mendapat perlakuan dari sang ibu yang dianggapnya, seperti memperlakukan anak kecil. Tapi Tara tak pernah berontak, ia tahu itu cara ibunya mengekspresikan kasih sayangnya.

"Selamat ulang tahun, sayang."

Tara hanya tersenyum simpul membalas ucapan selamat dari ibunya itu. 

"Mamah udah masak nasi kuning kesukaanmu. Sana kamu mandi dulu," kata ibunya kemudian.

Tara tak berkomentar, ia kemudian menaruh barang-barangnya dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Hanya perlu waktu 15 menit untuknya membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan celana pendek selutut. Ia kemudian bergabung dengan ibunya yang sudah menata menu makan malam di meja makan. 

Ada kue ulang tahun dengan lilin angka 37 menerangi meja makan itu. Dengan santai Tara meniup lilin itu dan menyalakan lampu di atas meja makan.

Tara tak berniat memotong kue ulang tahunnya, ia menyiduk beberapa sendok nasi kuning dari tempatnya dan mengambil lauk pauk lainnya. Sudah jadi kebiasaan bagi ibunya setiap tahun merayakan hari lahir dengan memasak nasi kuning kesukaannya.

"Ada hadiah dari papah di kamarmu. Dia minta maaf gak bisa nemenin makan malam, lagi di luar kota," jelas ibunya.

Lagi-lagi Tara tak berkomentar, ia fokus dengan menu di hadapannya. Sang ibu memperhatikan anak semata wayangnya itu makan dengan lahap, membuatnya tersenyum bahagia. 

"Kalau kamu punya istri, bakal ada yang masakin nasi kuning tiap hari," ujar sang ibu, masih dengan tatapan kasih sayangnya.

Tara bergeming mendengar kalimat dari ibunya itu, menahan tawa. Ia kemudian meneguk air bening di gelas, sebelah kanan tangannya.

"Mah, bisa-bisa saya jadi berdarah kuning kalo tiap hari makan nasi kuning," tanggapnya kemudian.

"Nawa, mamah serius." Sang ibu kembali merajuk.

Tara hanya tersenyum lebar, tak mempedulikan rajukan ibunya. Ia kembali memasukan nasi kuning itu ke mulutnya. Sang ibu hanya mendesah, memperhatikan Tara yang acuh tak acuh.

"Mamah denger dari Evan. Kamu ketemu Aya lagi?" Sang ibu kembali membuka obrolan.

Tara hanya mengangguk malas, tak berniat membahas itu.

"Dia udah berkeluarga, Nak. Kamu harus bisa melupakan dia. Jangan nunggu dia," lanjut ibunya.

Mendengar itu, Tara kembali bergeming, tak kuat menahan tawa.

"Maah.. bukan cuma Aya wanita di dunia ini. Kenapa saya harus nunggu dia? Kayak gak ada wanita lain aja," komentar Tara, diselingi tawa.

Sang ibu hanya terdiam mendengar tanggapan Tara, entah harus percaya atau tidak dengan ucapan anaknya itu. Kembali sang ibu mengingat reaksi Tara 13 tahun lalu, ketika undangan pernikahan Praya dikirim ke rumahnya. Selama beberapa minggu Tara mengunci diri di kondominiumnya. Menolak menemui siapapun. Saat itu sang ibu sempat khawatir si anak melakukan hal di luar akal sehat.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang