[33] Pertimbangan Kembali (1)

367 38 0
                                    

Praya melepas kepergian lelaki bertubuh tinggi tegap itu dengan perasaan kosong yang bergelayut di dadanya. Ia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang pernah ia harapkan mengatakan kalimat lamaran itu belasan tahun lalu, baru saja mengusik asa terdalamnya yang sudah terkubur. Namun asa itu memang benar-benar sudah tak berbekas. Sejak perjanjian agung yang Chandra ucapkan di depan para saksi dan penghulu, Praya sudah melepas pasrah hatinya, mengikatkan perasaannya hanya untuk Chandra. 

Walau terkadang dalam malam-malam di tahun pertama pernikahannya, Praya masih belum bisa seutuhnya memberikan penuh hatinya pada sang suami. Masih diam-diam terisak dalam kesunyian malam, mendamba sosok Tara-lah yang seharusnya ada di sisinya saat itu. Namun kesabaran dan pengertian Chandra pada akhirnya mampu membuat Praya belia jatuh cinta pada sosok hangat itu. Sampai saat ini Praya tetap yakin, tak akan ada yang bisa menggantikan Chandra menjadi suaminya dan ayah bagi anak-anaknya. Tak akan ada. Meskipun itu Tara, cinta pertamanya sekalipun.

Cukup lama Praya termenung di kursi ruang tamu rumah mertuanya itu, sebelum pada akhirnya ia melangkah menuju lantai dua dimana anak-anaknya dirasa sudah tertidur. Tak ada suara-suara berisik lagi. Sang ibu mertua dengan pengertian menawarkan diri menjaga cucu-cucunya ketika didapati ada tamu yang mendatangi Praya. 

Di ruang tengah lantai dua rumah itu, sosok wanita berusia senja tengah terduduk dengan tenang, menunggu kehadiran sang menantu.

"Eh, kirain ibu udah tidur," sapa Praya disambut senyuman oleh mertuanya.

"Sini duduk Ay, ada yang ingin ibu bicarakan." 

Praya beringsut mendekati sang ibu mertua, duduk di sebelahnya. Ditatapnya air muka wanita renta itu yang semakin hari semakin menampakkan ketabahan dalam hidupnya. 

Sang ibu mertua balas menatap wajah Praya yang lebih terlihat tirus dalam satu tahun terakhir ini. Sejak kepergian Chandra dan tetua rumah ini, Praya lah yang mengambil alih semua urusan rumah tangga dan  pekerjaan kantor Chandra. Wajar saja karena tak ada yang bisa diandalkan di rumah yang hanya ditinggali oleh seorang wanita tua sepertinya dan anak-anak kecil.

"Ay, maaf ibu gak sengaja mendengar obrolanmu dengan Pak Tara. Tadinya ibu ingin menyapa, tapi gak sangka itu obrolan pribadi antara kalian," buka sang mertua mengawali obrolan.

Praya tak langsung menanggapi kalimat mertuanya itu. Ia hanya terdiam, masih merasakan sesuatu yang kosong bermukim di balik benaknya.

"Apa tak sebaiknya kamu mempertimbangkan lebih dulu  permintaan Pak Tara, Ay? Tak baik menolak lamaran pria baik-baik seperti dia."

Praya bergeming, namun ia tak lantas menanggapi usul sang mertua. Praya melepaskan tatapannya pada wanita renta itu, kali ini ia menatap kosong pada layar kaca yang menyala tanpa suara.

"Ay, pikirkan anak-anak yang masih kecil-kecil. Mereka butuh sosok seorang ayah. Kamu juga butuh seorang penjaga," bujuk sang mertua lagi.

Praya mendesah singkat, "Bu, belum satu tahun Mas Chandra pergi dan Aya tak pernah berpikir untuk mencari pengganti Mas Chandra. Aya bisa menjaga anak-anak sendirian, Bu. Bahkan Aya akan menjaga ibu sampai kapanpun."

Ibu mertua Praya beringsut, menatap kembali wajah menantunya dengan lamat-lamat. Ia kemudian menggenggam tangan Praya, berusaha untuk membujuknya lagi.

"Enggak Ay. Jangan pernah berpikir untuk hidup sendiri. Kamu masih muda, berbeda dengan ibu yang hanya tinggal menunggu waktu. Lagipula bukan kewajibanmu untuk menjaga ibu,  masih ada Arina dan Bima__"

"Bu_" Praya memotong kalimat mertuanya yang menggantung. Ia kembali menatap wajah tua itu yang setiap bulan bertambah keriput di wajahnya.

Praya kemudian melanjutkan, "Tak ada perbedaan kewajiban antara anak dan menantu dalam mengurus orang tua. Tolong percaya sama Aya, Bu. Aya mampu menjaga ibu dan membesarkan anak-anak."

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang