[27] Bangkit Dalam Duka

409 38 0
                                    

Kematian sang suami bagi Praya, bahkan bagi seluruh wanita di dunia ini, sama seperti kehilangan hidupnya sendiri. Bahkan mungkin lebih menyengsarakan daripada kematian itu. Apalagi kehilangan yang tak pernah ia persiapkan. Praya tak diberi kesempatan untuk menunaikan bakti terakhirnya pada Chandra, bahkan hanya untuk melihat jasad suaminya, apalagi memandikannya untuk terakhir kalinya. 

Tak ada yang bisa merasakan bagaimana hancurnya jiwa dan raga Praya saat ini. Setiap malam, selama tiga bulan terakhir menunggu kabar pencarian jasad suaminya, ia tak berhenti berharap dan mengiba pada Sang Pencipta. Pasti akan ada keajaiban. Ia yakin kebaikan dan ketulusan sang suami dalam menolong orang-orang selama hidupnya, paling tidak menggerakan tangan-Nya untuk mengembalikan sang suami pada Praya. Walau hanya tinggal tubuh tanpa nyawa. Ia tak keberatan, setidaknya ia bisa memberikan peraduan terakhir yang layak untuk Chandra. Setidaknya ia tahu kemana tempat untuk melepaskan rasa rindunya pada sosok hangat itu, walaupun tempat itu hanya gundukan tanah.

Namun mendapati usahanya dan keluarganya yang sudah dibatas akhir, ia tak bisa berharap lagi. Ia harus merelakan separuh jiwanya itu, membawa separuh hidupnya, meninggalkan raganya yang saat ini hanya bisa menatap ke luar jendela kamar tanpa binar di matanya. Kosong.

Sudah hampir seharian Praya termenung di balik jendela itu. Ia hanya ingin di sana sendiri. Bahkan ia seolah tak ingat, jika kepergian Chandra tak hanya meninggalkan hidupnya saja, tapi tiga hidup lain yang Chandra titipkan padanya. Sekosong itu pikiran Praya, sampai ia tak menyadari ada anak-anaknya yang membutuhkan perhatiannya. 

Sampai siang itu, tangisan anak bungsu Praya di luar kamar, mengembalikan separuh kesadarannya. Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri arah suara tangisan Adya.

"Kenapa, Mba?" tanya Praya pada wanita seusianya yang bertugas sebagai pengasuh Adya.

Praya kemudian mengambil alih anak bungsunya itu dari gendongan pengasuhnya, menenangkannya.

"Tadi mainannya diambil sama Arya," jelas si pengasuh.

"Arya dimana?"

"Tadi langsung lari ke belakang, Bu."

Sejak kepergian sang suami, Praya dan anak-anaknya pindah ke Jakarta, ke rumah mertuanya. Kedua mertuanya tak mengijinkan Praya tinggal sendiri di Bandung. Mereka paham kondisi menantunya yang sangat rapuh itu. Tak bisa membayangkan jika Praya harus mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil tanpa penjaga.

Setelah menenangkan anak bungsunya, Praya menghampiri anak keduanya, "Kak, kita main ke luar, yuk. Kita jalan-jalan mau?" Ajak Praya, disambut riang oleh bocah berusia 5 tahun itu. 

Praya mulai tersadar, ia butuh udara segar dan suasana baru untuk membangkitkan kembali semangatnya dan menebus kealfaannya sebagai seorang ibu. Perannya bukan hanya sebagai seorang istri, tapi juga ibu bagi ketiga anaknya.

"Bu, saya dan anak-anak mau jalan-jalan ke luar sebentar. Sekalian nunggu Arka pulang sekolah. Biar saya yang jemput," ijin Praya pada sang ibu mertua.

"Di antar Mang Asep ya, Ay. Jangan sendiri. Ajak pengasuh sekalian."

"Gak usah, Bu. Naik taksi aja. Udah lama saya dan anak-anak gak main, takutnya lama nunggu. Kasian Mang Asep."

Sang ibu mertua tak langsung menyahut permintaan Praya. Tampak menimbang, ia masih tak yakin apa kondisi menantunya benar-benar stabil.

"Saya baik-baik aja, Bu. Ibu gak usah khawatir," ujar Praya lagi meyakinkan ibu mertuanya itu dengan senyuman riang.

Ibunya kemudian menarik nafas perlahan, "Yaudah, nanti kalau mau dijemput kabari Mang Asep," balasnya berusaha memberikan kepercayaan pada menantunya itu.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang