[19] Kotak Pandora

410 46 2
                                    

Tara, didampingi Evan, memasuki elevator gedung kantornya menuju lantai paling atas di menara itu untuk menghadiri rapat direksi 10 menit lagi. Tak banyak yang ia dan Evan perbincangkan selama elevator bergerak dari satu lantai ke lantai lain. Tara masih setengah tak percaya dengan berita yang didengarnya beberapa jam lalu. Pikirannya dipenuhi oleh rencana dan langkah yang akan ia ambil untuk 2 orang timnya yang sampai detik ini belum ada kabar. Begitu juga tim lain dari rekan perusahannya.

Keheningan di ruang kotak bergerak itu kemudian terhenti ketika pintu elevator terbuka di salah satu lantai. Seorang pria setinggi Tara dengan setelah jas berwarna merah marun yang terbuka seluruh kancingnya, masuk ke dalam elevator, menyapa Tara dengan riang.

"Nawaa, lama tak jumpa. Sepertinya aku merindukanmu," sapa pria itu sambil merangkul pundak Tara.

Tara menyambut sapaan menggelikan itu dengan tatapan dingin, "Hentikan kelakukan konyolmu ini. Jangan membuat orang-orang salah paham terus."

Si pria hanya tertawa mendengar komentar dingin Tara seperti biasa.

"Orang tak akan lagi salah paham padaku," jawabnya dengan nada jahil.

"Selamat Pak Angga. Saya sudah dapat undangan pertunangan Bapak. Saya pasti akan datang." Evan masuk ke dalam obrolan mereka, disambut tawa riang oleh sosok itu.

Evan mengenal kedua direktur muda di hadapannya ini sudah lama. Berbeda dengan Tara yang tampak dingin dan ketus, Praditya Dwipangga* dikenal sebagai sosok kocak dan jahil. Terkadang kejahilan Angga pada Tara sering membuat Evan merasa risih karena menimbulkan tafsir negatif dari karyawan di kantornya. Inilah sumber utama fitnah keji yang menimpa bosnya itu. Pasangan direktur yang muda, gagah dan tampan, namun masih single dan sering terlihat nempel berdua.

"Tentu saja kamu harus datang Van, jangan lupa pastikan bosmu ini untuk datang juga. Supaya dia segera menyusul. Setelah aku beristri, dia pasti akan tambah kesepian," jawab Angga.

Evan menyambut kalimat Angga dengan tawa tertahan.

Sementara Tara tak menyahut kalimat menyebalkan dari sahabat kecilnya itu. Ia dan Angga sudah berteman dari sekolah dasar, ayah mereka sama-sama perintis perusahaan properti ini. Namun berbeda dengan Tara yang sudah yakin akan berkecimpung di dunia properti milik ayahnya, Angga justru selama ini tak pernah memiliki ketertarikan tersebut, terlihat dari jurusan yang diambilnya saat kuliah jauh dari bidang properti yang digelutinya. Sampai saat ini Tara masih tak paham pada sahabat kecilnya itu yang tiba-tiba memutuskan bergabung di perusahaan bersamanya. Bahkan sepertinya Angga terlihat lebih bersemangat menjalankan tugasnya sebagai direktur pemasaran.

"Ah, selesai rapat ayo kita makan siang bareng," ajak Angga kemudian, bersamaan dengan pintu elevator terbuka di lantai yang mereka tuju. Tara masih menyambut ajakan sahabatnya itu dengan acuh tak acuh.

***

"Kapan kamu sampai di sini?"

Tara membuka percakapan makan siang bersama sahabat kecilnya itu. Diliriknya Angga yang sedang memintal spageti itu bergeming.

"Kemarin pagi. Aku benar-benar puas berkeliling Eropa setelah sekian lama. Aku juga mengamen di tempat kita dulu," jawab Angga bersemangat.

"Ah aku jadi menyesal tak ikut mengambil cuti juga sepertimu. Harusnya kita bisa mengamen seperti dulu lagi."

Tara kembali mengingat petualangan bersama Angga dulu di Eropa. Saat itu Angga sedang melanjutkan kuliah paska sarjananya di Belanda dan selama di Eropa Angga yang menampungnya.

"Besok aku harus terbang lagi ke Jepang. Mengecek produk solar panel untuk pengembangan kawasan terbaru kita. Komponen utamanya di-supply dari perusahaan di sana," ujar Angga lagi, setelahnya ia memasukkan pintalan spageti ke mulutnya.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang