[25] Rapuh

427 44 0
                                    

Tara tak melepas tatapan ibanya pada sosok Praya yang saat ini terbujur lemas di ranjang pasien. Dokter yang memeriksa kondisi Praya sebelumnya, menyarankan wanita itu untuk menginap satu malam di rumah sakit karena kondisinya cukup lemah. Sudah setengah hari ia dan Rosa menunggui Praya di ruang rawat inap itu. Dilihatnya sinar matahari senja mulai berganti remang-remang dan ditelan kegelapan.

Tara tersenyum simpul mengingat kembali sosok Praya yang tak banyak berubah. Wanita yang Tara kenal lama itu memang bukan sosok yang kuat dan tangguh. Dibalik senyum riang dan semangatnya, Praya adalah sosok berhati lembut yang mudah rapuh. Mendapati kenyataan suaminya yang kecil harapan untuk kembali, pasti membuat Praya terpukul begitu hebat. Walau kadang semangatnya tak kenal kondisi, seperti saat ini yang memaksakan diri turun tangan mencari Chandra atau seperti saat Praya mengejarnya ke Barcelona. 

"Ros, biar saya yang tunggui Bu Praya. Kamu kembali ke hotel dan tolong bereskan barang-barangmu dan Bu Praya. Kita akan ke Jakarta besok pagi," kata Tara pada gadis yang duduk tak jauh darinya.

Menanggapi kondisi saat ini, Tara telah menghubungi Evan untuk mengatur kepulangannya dan kedua wanita yang dirasa, menjadi tanggung jawabnya juga.

Rosa tampak menimbang permintaan atasan dari rekan perusahaannya, merasa tak nyaman harus meninggalkan istri atasannya itu dengan lelaki asing, pikirnya.

"Saya sebenarnya teman lama Bu Praya saat kuliah. Jadi kamu gak usah khawatir," ujar Tara lagi, tampak paham dengan keraguan Rosa.

"Oh, iya Pak. Baik kalau begitu," jawab Rosa dengan seyuman lega. Ia kini paham sikap Tara yang sepertinya sangat perhatian pada Praya. Ternyata mereka teman lama, katanya dalam hati. 

"Oya, tolong minta Ardian untuk membereskan barang-barang saya juga di kamar," pinta Tara lagi disambut anggukan oleh Rosa dan berpamitan.

Sampai malam beranjak lebih petang, tak ada tanda-tanda Praya membuka matanya, namun Tara mendengar hembusan nafas lirih dari bibir Praya. Ia paham jika Praya membutuhkan istirahat, tentunya beberapa malam kemarin wanita itu akan sulit memejamkan matanya. Hanya memikirkan sang suami yang entah seperti apa kondisinya saat ini, hidup atau mati.

Kembali ia merasakan lemas pada tubuhnya jika mengingat kejadian bencana itu yang seharusnya ia berada di sana. Berada di hotel yang kini telah menjadi reruntuhan atau di kapal nelayan di tengah lautan yang disapa gelombang raksasa. Rasa ngeri menyaksikan kondisi rekan-rekannya di bawah puing-puing bangunan, dan rasa hampa mendapati kenyataan rekan hangatnya yang mungkin ditelan lautan. Tara merenungi takdirnya yang berubah hanya karena sebuah rapat yang dipercepat. 

Beberapa saat kemudian, Tara melihat tubuh Praya yang mulai bergerak di ranjang pasien itu, dilihatnya mata Praya secara perlahan terbuka.

Praya membuka matanya dan mendapati dirinya ada di ruangan asing yang tak ia kenal. Samar-samar sudut matanya menangkap bayangan seseorang di samping ranjang itu. Perlahan Praya mulai bisa membangunkan kesadarannya secara utuh.

"Nawa.." panggil Praya dengan nada lirih.

Tara tersenyum menjawab panggilan Praya.

"Rosa mana?"

"Dia ke hotel beresin barang. Besok pagi kita pulang ya."

Praya tak menyahut lagi, hanya mengangguk lemah, "Aku ingin makan, Wa," lanjut Praya.

Tara menyambut permintaan Praya dengan semangat. Ia kemudian membenahi posisi Praya di ranjangnya dan menata makan malam yang sudah tersaji beberapa menit lalu di meja kamar itu.

"Tadi aku bermimpi Mas Chandra, dia bilang aku harus makan__" ujar Praya masih dengan nada lemah. Ia melawan rasa sesak di dadanya, sambil sedikit demi sedikit memasukkan nasi ke mulutnya.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang