[18] Ritual Senyap

421 47 0
                                    

'Aya, untuk saat ini aku ingin bersikap egois. Bukan aku tak paham kondisimu, tapi aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Apakah kamu bisa mempertimbangkan perasaanku?'

Kalimat lamaran Chandra belasan tahun lalu diputar ulang  dalam alam bawah sadar Praya, yang perlahan mulai merayap kembali ke dunia yang dipijaknya saat ini. Ia membuka matanya dan didapati kamar tidurnya yang hanya menyisakan cahaya remang dari lampu pijar di dinding. Diliriknya jam dinding di kamar itu, samar-samar menunjukkan angka 3 dini hari. Si bungsu yang saat ini terlelap di sisinya mulai bergeming merasakan gerakan tubuh Praya yang hendak beringsut dari tempat tidur. Melihat itu Praya dengan lembut mengusap-usap tubuh Adya agar kembali ke alam bawah sadarnya. Masih terlalu dini untuk bangun.

Praya berusaha untuk kembali masuk ke dunia mimpinya, ingin melanjutkan mimpi indah tadi, mimpi saat Chandra melamarnya dulu. Entah kenapa mimpi tadi membuat ia rindu pada suaminya, namun masih terlalu pagi untuk menghubunginya. Praya berusaha terlelap kembali tapi sampai 30 menit kemudian, tak ada tanda jiwanya akan melintasi ruang dan waktu lagi. Ia putuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya, melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia membersihkan sebagian anggota tubuhnya agar bisa bercengkrama dengan Sang Pencipta di sepertiga malam terakhir ini. Sudah cukup lama ia tak melakukan ritual sunyi dalam senyapnya dunia. Praya menikmati perbincangan spiritualnya itu, sampai pengeras suara dari masjid-masjid di sekitarnya mulai melantunkan takbir mengajaknya kembali melanjutkan percakapan intimnya dengan Sang Pencipta.

Tak lama kemudian, Praya menuruni tangga di rumah dua lantai mertuanya itu, menuju ke dapur. Dilihatnya sang ibu mertua sudah terjaga juga, ditemani oleh asisten rumah tangga mempersiapkan menu sarapan. Ia kemudian bergabung bersama mereka. Sementara sang ayah mertua dilihatnya baru saja menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tengah, hendak menyalakan televisi.

Samar-samar Praya dapat mendengar suara dari layar kaca di ruang tengah itu, namun tak terlalu jelas ayah mertuanya kini sedang menonton tayangan apa. Sampai sebuah panggilan dari sang ayah membuyarkan kegiatan memasak di dapur itu.

"Ibu, Aya! Cepat ke sini!"

Praya dan sang ibu mertua terkesiap mendengar suara panggilan tak biasa itu. Mereka kemudian bergegas ke ruang tengah, dilihatnya sang ayah tampak diam membisu melihat tayangan berita pagi di layar kaca itu, dengan tajuk utama berita: Kota X kembali diterjang gempa 7 SR dan tsunami jam 3.00

Praya hanya bisa membeku mendengar sang reporter membacakan berita singkat itu, belum ada informasi detail mengenai kejadian bencana yang baru terjadi 3 jam lalu.

"Aya.. Cepat telepon Chandra, Ay," kata sang ibu, meneguhkan tubuh Praya yang mulai melemas, membayangkan sesuatu buruk terjadi pada suaminya. Dengan terburu-buru ia menekan nomor ponsel Chandra dari telepon rumah di ruang tengah itu. 

Maaf nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, silakan tinggalkan pesan.

Kini Praya merasakan tubuhnya benar-benar melemas. Sang ibu mertua menatap wajah Praya yang pucat pasi paham apa yang terjadi.

"Coba hubungi rekan Chandra yang ikut ke lapangan, Ay," usul sang ayah mertua. 

Tanpa menunggu lama, Praya langsung berlari ke kamarnya, mengambil ponselnya dan menghubungi satu per satu tim lapangan dari kantornya. Namun nihil, kelima rekan Chandra yang bergabung di sana tak ada satupun yang dapat dihubungi. Masih dengan jawaban yang sama dari mesin penjawab. Ia merasakan tubuhnya semakin melemah. Dengan langkah gontai ia kembali ke ruang tengah itu tanpa banyak berkata.

Kini ruang tengah itu semakin senyap. Tak ada yang mampu mengucapkan apapun di tengah kejadian yang tak terduga itu.

"Ah, ada tim lain yang belum saya hubungi." 

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang