[32] Lamaran

442 48 1
                                    

Siaran acara di layar kaca dalam ruangan serba monokrom itu kembali menampilkan tayangan yang bergilir dari satu saluran ke saluran lain setiap detiknya. Lelaki bertubuh tegap itu dengan tatapan kosongnya tampak tak berminat menonton satu acarapun di saluran tersebut. Ia hanya menekan-nekan tombol remote televisi dengan tatapan mata yang entah melihat ke arah mana.

Lelaki itu kemudian mendesah lagi dan menghela nafas panjang di sela-sela tatapan kosongnya. Selama beberapa minggu terakhir kegiatannya di unit kamarnya itu hanya berkutat pada lamunannya, pikirannya dan kata hatinya. Tara berulang kali mengingat kembali kejadian-kejadian masa lalu di masa kuliah belasan tahun lalu.

Mengingat kembali pertemuannya dengan Praya dan waktu-waktu tiga tahun kebersamaan mereka, kemudian senyuman simpul terkembang di kedua bibirnya. Namun desahan putus asa keluar dari indera penciumannya ketika ia mengingat bagaimana sikapnya dulu meninggalkan cinta pertamanya itu. Kembali ia merasakan bagaimana hancur hatinya ketika ia harus membiarkan gadis itu pergi dengan luka yang ditorehkannya. 

Dan ketika ia hendak menebus kesalahannya, ia menyesali keterlambatannya mengejar Praya. Ia fustasi ketika undangan pernikahan Praya mendarat ditangannya, hanya berselang dua minggu dari pertemuan terakhir mereka di Barcelona. Keterlambatannya selama belasan hari, mengubah belasan tahun hidupnya kemudian.

Tara sempat ingin mendatangi Praya sebelum pesta pernikahan gadis itu. Karena saat itu ia yakin, Praya tak pernah menginginkan pernikahannya. Tara begitu percaya diri, hanya ia pemuda yang ada di hati Praya, bagaimana mungkin gadis itu menikahi pemuda lain dalam waktu singkat? Pasti itu hanya pernikahan pelarian saja bagi Praya, pikirnya saat itu. Tapi ia tak pernah mendatangi Praya, ia hanya bisa mengurung dirinya berminggu-minggu di unitnya ini. Berusaha menahan dirinya untuk tak berlaku lebih menyakiti gadis yang dicintainya itu. 

Namun saat ini Tara termenung lagi, mengingat kembali kondisi Praya saat ini dan anak-anaknya. Berkali-kali ia bertanya pada hatinya, apa yang membuatnya bertahan dalam kesendirian dengan hati yang dingin selama ini? Apa hatinya yang dingin itu karena kesibukan pekerjaannya atau justru kesibukan itulah yang menjadi alasan untuk mendinginkan hatinya?

Selama berjam-jam pergolakan kenangan dan batin itu memenuhi pikiran dan hati Tara. Sampai akhirnya ia beringsut dari tempat duduknya, menarik nafas lagi dengan lebih dalam. Ah, wanita di dunia ini memang bukan cuma dia, tapi hanya dia wanita yang ada di duniaku.

***

Langit telah mengganti warna cerahnya menjadi lebih kelam, ketika mobil sedan warna hitam metalik itu berhenti di salah satu pagar rumah bergaya kolonial dimana warna putih mendominasi. Seorang lelaki separuh baya dengan cekatan membuka pagar besi di halaman rumah itu, mempersilakan kotak besi yang dikendarai oleh seorang lelaki untuk menepi ke dalamnya. Tara kemudian keluar dari mobilnya, disambut ramah oleh lelaki separuh baya itu. Tak lama si lelaki separuh baya masuk ke pintu samping, mengabari tuan rumah akan kedatangan tamu.

Praya terkesiap melihat siapa tamunya malam ini, ia bertanya-tanya apa gerangan lelaki itu datang ke rumah mertuanya tanpa mengabari.

"Ada apa, Wa? Aku kaget gak ngabarin dulu mau ke sini," sapa Praya sambil mempersilakan sosok itu duduk di sofa ruang tamu. Kemudian ia meminta asisten rumah tangganya untuk membuatkan minum bagi tamunya itu.

Tara tersenyum simpul, menaikkan tepi garis kedua bibirnya dengan tatapan mata elangnya yang terlihat lebih hangat.

"Gak ada apa-apa, Ay. Aku hanya ingin ngobrol santai denganmu saja."

"Oh, apa tentang yayasan?" tanya Praya menebak maksud kedatangan sosok itu yang tiba-tiba.

Tara tersenyum, "Bukan, Ay."

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang