[38] Perjanjian Agung

457 41 0
                                    

Kembali Tara berjibaku dengan dokumen-dokumen di meja kerjanya, di ruangan kantor serba monokrom itu. Satu bulan berlalu sejak pertemuan keluarganya dengan keluarga calon istrinya. Acara lamaran sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga intinya serta keluarga Praya dan mertuanya.

"Undangan pernikahan Bapak sudah selesai dibagikan ke beberapa rekan kantor," ujar Evan kemudian, setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan atasannya itu. Dilihatnya wajah sumringah Evan dari tadi pagi masih melekat.

"Saya masih gak percaya kalau ternyata Bu Praya yang jadi calonnya," ujar Evan lagi. 

Evan masih merasakan kekagetan ketika pagi tadi dengan santai Tara meminta tolong padanya untuk membagikan beberapa keping undangan kepada rekan-rekan dekat kantornya. Dibacanya nama mempelai wanita yang tertulis di sana, membuatnya terdiam beberapa menit tanpa gerakan.

"Makanya, jangan cepat mengambil kesimpulan. Pasti gosip aku dan Tasha sudah menyebar ke seantero Cipta Raya Land," tanggap Tara dengan santai.

"Yang membuat gosip itu menyebar kan bukan saya, Pak. Semua karyawan di direksi ini tau, pertengkaran bapak dengan pak Angga waktu itu kan gara-gara Mbak Tasha," balas Evan, membela diri.

"Ah dasar kalian saja. Kebanyakan nonton drama___"

Belum sempat Tara melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu lebih dulu. 

"Wa, aku ingin bicara."

Dilihatnya sosok Angga kini berada di ruangan itu, menatapnya dengan sorot mata lebih jinak dari biasanya.

Kembali Evan yang menyaksikan kehadiran direktur pemasaran itu, undur diri dari ruangan. Berbeda dengan suasana dua bulan lalu yang terasa memanas. Kali ini justru nuansa biru menyelimuti ruangan itu. Angga yang biasanya berapi-api, saat ini tampak muram.

"Apa ini?" tanya Angga pada Tara, sambil memperlihatkan sebuah kertas berwarna abu-abu cerah di genggaman tangannya, yang tak lain adalah undangan pernikahan Tara.

Tara tersenyum simpul, menatap sahabat kecilnya itu yang akhirnya mau datang menemuinya lagi.

"Undangan pernikahanku. Kamu pasti kaget karena aku mendahuluimu," jawab Tara dengan nada mengejek.

"Bukan itu yang kumaksud, Wa," tanggap Angga, dengan nada sendu di kalimatnya.

Tara masih tersenyum simpul, tak lantas menanggapi kalimat Angga.

"Kenapa harus Aya?" lanjut Angga.

Mendengar pertanyaan itu, Tara bergeming, "Memangnya ada wanita lain yang mungkin akan kunikahi?" tanyanya kemudian.

Tak menunggu tanggapan Angga, Tara melanjutkan, "Jangan bilang kamu benar-benar beranggapan aku akan menikahi Tasha?" tanyanya lagi, kali ini dengan tawa yang ia tahan.

"Ayolah, Ga. Aku kecewa, tenyata kamu gak benar-benar mengenalku. Tak mungkin aku mengencani Tasha. Kamu saja kesulitan untuk mengendalikannya, apalagi aku," ujarnya diakhiri tawa.

"Lagipula, hanya ada dua tipe pria yang bisa bertahan dengan wanita seperti dia, yang paling penyabar atau yang sama-sama keras kepala. Dan aku bukan salah satu dari tipe itu," tambahnya lagi, merasa puas sudah mengerjai Angga.

Angga yang daritadi hanya menatap sendu sahabat kecilnya itu, kembali bergeming, "Bukan itu yang kumaksud, Wa. Kamu tau sendiri kalau Aya__"

"Ga__," potong Tara, sengaja mendahului kalimat Angga selanjutnya.

"Tak semua orang diberi kesempatan kedua sepertiku." Kali ini nada serius keluar dari kalimat Tara.

"Cukup lama aku menahan sesal dan sesak itu. Setelah meninggalkannya dengan cara pengecut, aku ingin menebus kesalahanku dulu," lanjut Tara, masih disambut tatapan sendu oleh Angga.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang