[35] Pertimbangan Kembali (3)

325 48 0
                                    

Mobil van berwarna putih kembali melintasi jalanan komplek perumahan yang di kanan kirinya pepohonan berusia puluhan tahun yang rimbun menjadi peneduh di sepanjang jalan beraspal itu. Mobil itu kemudian berhenti di pintu gerbang berwarna putih yang memagari rumah bergaya kolonial di dalamnya. Gerbang putih itu telah dibuka beberapa menit sebelumnya, setelah adanya kabar kedatangan tamu tersebut.

Praya menyambut kedatangan orang tuanya ke rumah mertuanya itu. Sehari sebelumnya orang tuanya mengabari akan berkunjung untuk bertemu dengan cucu dan bersilaturahmi kepada besannya. Praya setengah ragu dengan alasan orang tuanya datang, karena baru seminggu lalu mertuanya datang berkunjung ke kediaman orang tuanya di Bogor. Namun ia tak banyak bertanya-tanya, mungkin memang rindu dengan cucu-cucu, pikirnya.

Tak lama kemudian mertua Praya menyambut kedatangan besannya dengan ramah seperti biasa, mempersilakan mereka untuk mencicipi hidangan makan siang yang sudah tersaji beberapa menit sebelumnya.

"Arka dimana, Ay? Tumben tadi gak nyambut opa nya, biasanya paling seneng kalo opa nya dateng", tanya sang ibu sambil mengambil posisi duduk di kursi meja makan.

"Lagi ngambek sama bundanya, Bu," jawab ibu mertua Praya, mewakili menantunya yang tengah memposisikan anak bungsunya di kursi makan.

"Ngambek kenapa lagi, Bu? Kayaknya Arka akhir-akhir ini sering ngambek," tanggap ibu Praya pada besannnya.

Kali ini Praya yang langsung menjawab, "Biasa Mah, masalah  sama temannya di sekolah. Katanya sering diejek 'anak supir' gara-gara sering dianter jemput sama mang Asep."

"Terus protes sama Aya, minta Aya yang anter jemput lagi," lanjut Praya.

Mendengar keluhan Praya, ayahnya angka suara, "Yaudah Ay, gak usah terlalu sibuk dengan urusan yayasan lagi. Kan udah ada pengganti direktur di sana." 

"Percayakan sama Dipta juga kantor yang ada di Bandung. Jadi kamu gak perlu sering-sering ke sana," lanjut ayahnya lagi.

Praya tak langsung menanggapi usulan ayahnya itu, ia kini sedang menyiapkan makan untuk anak tengahnya.

"Masih belum bisa, Pah. Keuangan yayasan masih belum stabil," tanggap Praya kemudian.

"Ah, yaudah tapi kamu juga harus bisa bagi waktu merhatiin anak-anak, Ay. Mereka masih kecil-kecil. Nanti biar Papah yang ajak ngobrol Arka," nasihat ayahnya lagi disambut anggukan oleh Praya.

Perlu waktu sekitar 1 jam acara makan siang keluarga itu berlangsung sambil sesekali membicarakan perkembangan anak-anak Praya atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan keluarga itu.

"Oya, Mamah jadi nginep disini?" tanya Praya setelah makan siang itu berakhir.

"Iya, nanti Arka sama Arya ikut Papah pulang. Udah lama mereka gak main ke Bogor kan. Mumpung Papahmu lagi santai, pengen ngajak maen," jawab sang ibu.

Lagi-lagi Praya berusaha menebak maksud kedatangan kedua orangnya itu yang dirasa tak biasa. Namun ia tak bisa langsung mengutarakan keheranannya itu, hanya mengangguk-angguk seolah-seolah paham.

Dan benar saja, menjelang sore setelah ayah dan kedua anak laki-laki Praya berpamitan, keheranan Praya akhirnya terjawab. Ibu mertua Praya mengajak menantu dan besannya untuk mengobrol santai di ruang tengah yang telah sepi oleh tingkah bocah laki-laki beberapa menit setelahnya.

"Ay, ibu ngundang besan ke sini, sebenarnya ada obrolan cukup serius yang ingin ibu sampaikan," buka sang mertua.

Praya tampak tak terkejut dengan pendahuluan itu, ia memang sudah menduga jika akan ada obrolan serius.

Sang mertua kemudian melanjutkan, "Ibu sudah memutuskan untuk tinggal bersama Arina, Ay. Dan dia setuju__" 

"Bu, Aya udah bilang dari dulu, ibu harus tinggal sama Aya. Mba Arina juga dulu udah menyetujuinya. Kenapa sekarang dibahas lagi?" potong Praya dengan tekanan emosi dalam kalimatnya.

Pernikahan GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang