Bagian 6- Macan tidur

994 113 1
                                    


"Perasaan itu memang hebat ya, dia dapat merubah hati yang tadinya benci menjadi cinta, begitupun sebaliknya."






Bel istirahat SMA Galaksi sudah berbunyi lima menit yang lalu. Saat ini, Reina dan Icha sedang berada di kantin. Seperti biasa, sebelum memutuskan untuk memesan makanan, Reina menoleh ke sekelilingnya dulu untuk memastikan keadaan benar-benar aman. Bukan apa, Reina masih trauma dengan kejadian kemarin. Bisa-bisa ia di permalukan lagi nantinya.

"Lo mau pesan apa? Biar gue yang pesan."

"Eum, bakso sama es jus jeruk aja deh. Jus jeruknya yang botolan ya?"

Icha mengangguk, berjalan meninggalkan Reina untuk memesan makanan pada ibu kantin. Sementara itu, Reina masih sedikit gelisah. Takut bila dipertemukan kembali dengan Devan. Cowok itu pasti akan mempermalukannya lagi di depan banyak orang.

Sebenarnya, Reina tidak ingin pergi ke kantin lagi setelah insiden memalukan kemarin. Apalagi dengan sikap orang-orang di sekitarnya yang selalu memandangnya dengan tatapan aneh. Entah itu tatapan iba atau mengejek. Yang jelas, Reina sungguh tidak nyaman dengan itu.

Belum sampai lima minat ia disana, keadaan kantin berubah menjadi ramai. Reina langsung menoleh ke belakang, mendapati Devan dan teman-temannya tengah berjalan santai memasuki area kantin. Seketika, bola mata Reina membulat sempurna.

Astaga, demi jiwa-jiwa yang kesakitan!

Cobaan apalagi yang akan kau hadirkan kepada hambamu ini, Tuhan? Reina cepat-cepat menyembunyikan wajahnya ke bawah. Semoga Devan gak liat gue.

Setelah beberapa menit, Icha datang dan menaruh makanan dan minuman yang ia bawa ke atas meja.

"Ayok makan," ujar Icha, namun Reina tidak menanggapinya. Cewek itu terus menunduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Salah satu alis Icha terangkat. "Lo kenapa?"

"Gak ada apa-apa." Suara Reina terdengar berbisik.

"Terus kenapa nunduk kayak gitu? Tuh makanannya udah dateng. Cepetan habisin."

"Gak bisa. Disini ada Devan. Gue takut dia bakal macem-macem lagi sama gue."

"Gak bakal. Walaupun kasar, kak Devan itu bukan tipe orang yang pendendam."

"Yang bener?"

"Iya bener. Percaya sama gue." Ucapan Icha membuat Reina sedikit bernapas lega. Ia harap itu benar. Semoga saja Devan tidak akan mengganggunya atau sampai mempermalukannya lagi. "Ya, udah, cepetan makan. Bentar lagi masuk."

Reina mengangguk, menarik mangkuk bakso dan menyuapkan bakso tersebut ke dalam mulutnya.

"Masih berani lo kesini?"

Bakso yang hendak Reina masukan ke dalam mulut, kembali jatuh ke dalam mangkuk. Reina menatap Icha dengan ekspresi horor, mulutnya sudah bergerak merangkai kata. 'Devan?' tanpa suara.

Icha mengangguk, menelan saliva dengan kasar. Walaupun ganteng, tetap saja tatapan mata Devan mampu membuat bulu kuduknya meremang. Reina memberanikan diri menoleh ke belakang, mendapati Devan yang berdiri dihadapannya dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Kemudian, raut wajah Devan kembali normal. Datar tanpa ekspresi. "Kenapa? Takut?"

"Enggak. Ngapain gue takut?"

DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang