Bagian 26-Mulai ada rasa

720 74 0
                                    

"Tak semua kata-kata yang kita ungkap, dapat mewakili apa yang kita rasa."





“KAI REAN WIJAYA!”

Pak Mahshudi, atau biasa di panggil dengan nama pak Udi, guru pemimbing mata pelajaran Sejarah itu menghembuskan napasnya kasar. Dengan keamarahan yang sudah memuncak naik ke ubun, Pak Udi berjalan mendekati bangku Kai dengan mistar panjang di genggaman.

Brakk!

“Astghafirullah...” Kai mengusap-ngusap wajahnya beberapa kali. Terkejut dengan getaran dan dentuman suara yang keras di mejanya.

“Siapa yang suruh kamu tidur?!” bentak pak Udi murka.

Kai menatap pak Udi dengan cengiran sok manis. “Maaf, pak. Semalam saya gak tidur, karena jagain kucing saya yang mau bertelur. Makanya saya ketiduran disini,” ucapnya bohong. Yang benar saja, mana ada kucing bertelur? Sebenarnya, Kai memang sengaja tidur di kelas karena ia paling tidak suka dengan pelajaran sejarah. Bagi Kai, sejarah itu adalah masa lalu yang harus dilupakan, bukan untuk di ingat.

“Ngeles aja kamu bisanya!” ketus pak Udi. “Kai, coba kamu sebutkan, apa yang sudah saya jelaskan tadi."

Kai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melirik Hito yang hanya acuh tak acuh. “To! Ssstt, To!”

Hito hanya melirik Kai sekilas. Tidam berniat menanggapi panggilan cowok itu. Dalam hati, Kai mengumpat, dasar temen gak ada akhlak! Giliran gue seneng aja lo semua pada deket, coba kalau gue susah, satupun gak ada yang mau bantuin!

“Apa Kai? CEPAT JAWAB!” bentak Pak Udi mulai tak sabar. Kedua tangannya sudah gatal untuk menjewer telinga Kai.

“Eum, anu...” Kai nyengir kuda. “A-apa ya pak?”

“Kamu ini ya, Kai, bisanya memancing emosi saya saja. Mau jadi ap—"

“Paleojavanicus phitcantrophus erectus!” potong Kai cepat sambil memejamkan mata. Takut dengan amarah Pak Udi yang semakin meledak-ledak.

Pak Udi tersenyum, membuat Kai sedikit bernapas legah.

“Bagus!” Pak Udi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, “Inilah manusia purba peradaban sekarang,” ucap Pak Udi sambil menujuk Kai yang kini sudah menatapnya kebingungan. “Otak minus, gak ada plusnya!”

Ucapan pak Udi barusan berhasil membuat Kai tertohok hingga mengundang gelak tawa dari para murid. Termasuk Hito yang tawanya paling keras di antara murid-murid lain. 

Sialan! Wajah ganteng kayak gini di samain sama manusia purba? Apa-apaan!

“Hahaha, dasar manusia purba!” ledek Hito, lalu kembali tertawa.

Kai meliriknya dengan tatapan tajam. Temannya yang satu ini memang selalu berbahagia di atas penderitaannya.

Devan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. Cowok itu tiba-tiba memejamkan mata, ketika merasakan nyeri dan sesuatu yang berdesakan ingin keluar dari mulutnya. Devan meremat dadanya kuat, menggigit bibir bawahnya, berupaya menahan ringisan yang nyaris lepas.

“Pak...” panggil Devan lemah. Lirih suaranya membuat pak Udi menoleh.

“Ada apa Devan? Kamu kenapa?” Pak Udi tampak panik saat melihat wajah pucat Devan.

Devan menggeleng, “Gak apa-apa, pak. Saya izin ke toilet bentar," ucapnya sambil bangkit dan bersikap seperti biasa. Tidak ingin orang lain tahu bahwa saat ini ia tengah menahan sakit.

Pak Udi mengangguk. “Baiklah. Silahkan, Devan."


***


“Baiklah anak-anak, sekarang jam pelajaran ibu sudah habis. Semoga apa yang ibu ajarkan hari ini dapat bermanfaat bagi kita semua," tutur Bu Dian, kemudian beralih menatap Reina. “Rei, habis ini kalian jam pelajarannya siapa?”

“Bu Fara, bu,” jawab Reina yang masih duduk di bangkunya.

“Oh, bu Fara ya?” Bu Dian manggut-manggut. “Bu Fara nya ada di kantor. Kamu panggil aja. Bilang kalau sekarang udah jam pelajarannya dia.”

“Baik, bu. Saya izin panggil Bu Fara dulu," pamit gadis itu, bangkit dari tempat duduk dan bergegas pergi keluar kelas.

Reina berjalan menyusuri koridor lantai bawah menuju kantor. Namun saat di pertengahan jalan, matanya tak sengaja menangkap sosok laki-laki yang sedang berjalan gontai menuju ke arah toilet sambil memegangi dadanya.

DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang