Bagian 57-Mengikhlaskan

1.6K 73 10
                                    


"Titik sabar paling tertinggi adalah, Ikhlas."

***

Reina tak pernah menyangka, bahwa hari kehilangan itu benar-benar tiba. Devan telah menyerah, laki-laki itu telah melanggar janjinya untuk terus bersama. Bohong jika Reina bilang dirinya sudah ikhlas melepaskan Devan. Tidak semudah itu. Setelah banyaknya hal yang mereka lalui, akhirnya kisah mereka tertutup sampai disini. Sebuah akhir kisah yang sungguh memilukan, dan Reina yakin, orang-orang pasti akan merasakan hal yang sama jika itu terjadi pada mereka.

Hari ini, adalah hari kelima setelah Devan pergi. Saat dimana orang-orang terkasih Devan sudah mencoba untuk ikhlas merelakan apa yang sudah pergi.

Reina, dan juga keenam inti Black Tiger sedang berkumpul di dalam markas Black Tiger. Menonton video yang Devan berikan pada Sevan sebelum kepergiannya.

“Hai, lo semua gimana kabarnya? Pasti gak baik-baik aja kan.”

Sosok Devan dibalik kamera tertawa. Membayangkan bagaimanaa wajah-wajah sahabatnya sekarang.

“Pasti lo pada lagi nangis banget, ya? hahaha. Gak usah nangis gitu, jelek tahu.”

Oh iya, sampein ke bang Gino dan Fero ya, bahwa gue udah tenang dialamnya. Kalian juga, jangan sedih terus. Gue pasti bahagia kok disana. Tenang aja, gue anak yang baik, pasti keterima di surga.”

Eh, kalian udah lama kan, gak lihat gue tertawa lepas kayak gini?” Devan tersenyum. Senyuman yang Reina betul-betul tahu, bahwa dibaliknya ada rasa sakit yang coba ia tutupi. “Sama, gue juga.”

Gue bisa bahagia gini rasanya seneng banget. Lah iya, emang bahagia sama seneng gak jauh beda, ya?” Lagi, Devan tertawa. Namun tak lama, karena setelahnya tawa itu berubah menjadi sorot tajam penuh ancaman. “Gak ketawa sama lelucon gue, gue blacklist dari Black Tiger!”

Hahaha, bercanda... gimana mau blacklist? Orang udah mati.”

Bersamaan dengan itu, mereka semua seakan tertampar kembali oleh kenyataan. Bahwa saat ini, Devan memang sudah pergi, dan sosok itu tak akan pernah kembali lagi.

Kalau ngomongin soal mati si, gue gak tahu rasanya sakit atau enggak. Kayaknya iya deh. Eh, tapi gue udah ngerancang semuanya, gue bakalan mati dimana. Ya, gue mau mati dipelukan Reina. Kekasih gue tersayang. Sesakit apapun rasanya kematian, gue rela kok, asalkan dipelukan dia. Hahaha...”

“Van, Van, udah mau mati aja masih bucin si lo.” Kai terkekeh sambil tak kuasa menahan air matanya yang lagi-lagi berjatuhan.

Kayaknya udah cukup basa-basinya. Langsung aja gue sampein intinya sama kalian sekarang.” Nada suara Devan mulai terdengar serius, begitupun dengan wajahnya. “Rian, Kai, Hito, Darren, Sevan, Rehan, dan anak-anak Black Tiger yang lain, yang gak bisa gue sebutin satu persatu sekarang, gue harap kalian semua akan selalu pertahanin Black Tiger. Bukan sebagai geng motor yang kerjaannya selalu cari masalah, ugal-ugalan, minum-minum alkohol, gue harap gak akan pernah ada lagi hal itu didalam geng motor kita. Black Tiger itu adalah rumah, rumah ketika kita gak punya punya lagi sandaran dan tempat untuk pulang. Lakukan hal-hal yang bermanfaat. Bagaimanapun keadaannya, gue harap, Black Tiger gak akan pernah bubar. Kita disini, sama-sama, karena kita adalah keluarga,. Gue harap persahabatan kita, akan selamanya dan gak akan pernah berakhir.”

Rian, maaf sebelumnya karena gue udah nanggungin lo tanggung jawab sebesar ini. Tapi gue harap, lo mau jadi pemimpin Black Tiger, suatu saat disaat gue gak ada lagi. Kenapa gue pilih lo? bukan berati gue gak percaya sama yang lain. Tapi, karena gue yakin, lo mampu membawa Black Tiger ke arah yang lebih baik. Gimana, lo mau kan?”

Semua pandangan lantas tertuju pada Rian.

Rian terdiam sesaat, dan akhirnya, ia putuskan untuk mengangguk.

“Gue mau, Van.”

Kalau lo gak mau gak apa-apa. Tapi kalau lo mau, gue bener-bener berterimakasih sama lo. Gue yakin, jawabannya pasti lo mau. Karena dalam hal sesulit apapun, lo selalu bisa nemuin jalan keluar, gak kayak gue yang selalu terperangkap di dalam dunia gue yang gelap.”

Gue gak tahu dan gue gak bisa bayangin, akan seperti apa hidup gue tanpa Reina. Karena setelah dia hadir dalam hidup gue, gue akhirnya bisa nemuin arti hidup yang sesungguhnya. Bahwa gue hidup gak Cuma untuk diri gue sendiri, tetapi juga untuk orang lain.”

Buat teman-teman semuanya, gue minta maaf banget, jika pada akhirnya gue lebih memilih nyerah. Bukan berati karena gue udah lelah berjuang, tetapi karena emang udah saatnya gue pergi.”


***


Langit malam ini terlihat begitu terang. Banyak sekali bintang-bintang yang bertebaran menghiasi langit.

Disebuah sebuah rerumputan luas, Reina terduduk disana dengan pandangan yang tertuju pada langit malam. Gadis itu membawa sebuah kotak, yang ia dapat dari Sevan tadi sore. Itu adalah kotak pemberian Devan, yang dititipkan pada Sevan untuk diberikan pada Reina.

Tidak berlama-lama, Reina membuka kotak itu. Didalamnya terdapat sebuah surat dan juga cincin berlian yang terlihat begitu cantik. Tentu saja Reina terkejut bukan main, pasalnya, ini adalah sebuah cincin yang ia idam-idamkan sewaktu gadis itu menemani Devan membelikan hadia ulang tahun untuk Quin.

Lalu, Reina membaca isi surat tersebut. Didalamnya, terdapat sebuah ungkapan kata yang membuat Reina tak dapat mendeskripsikan apa yang ia rasa disetiap kalimatnya. Sebuah kata penuh cerita yang diambil dari setiap udara yang pernah mereka lalui bersama-sama.

Rei, aku menulis surat ini, karena aku tahu, berapa banyak siswa waktu yang aku punya. Atau lebih tepatnya, gak banyak. Kamu tahu, saat aku memilih kamu untuk menjadi pacar pura-pura aku, itu semua gak buat aku menyesal atas keputusan yang aku ambil. Justru sebaliknya, aku bahagia.

Kamu ingat, aku pernah bilang bahwa aku punya satu keinginan untuk menikahi kamu. Itu semua bukan hanya sekedar kata-kata. Aku memang benar-benar berniat melamar kamu, jika suatu saat nanti aku sembuh. Itu adalah impian terbesar yang aku punya. Dan cincin itu, dia adalah salah satu buktinya. Sebuah cincin yang gak sempat aku berikan ke kamu.

Air mata Reina seketika menetes. Ia lantas mengambil cincin tersebut, lalu menyematkannya dijari manisnnya sendiri.

kamu lihat kan? Aku udah pakek cincin ini. Itu artinya, aku terima lamaran kamu, Van.” Ucap Reina parau.

Kemudian, Reina kembali membaca isi surat tersebut.

Rei...
Kamu bagai matahari dan aku bulan. Kamu menerangi siang dan aku bersama bintang untuk menerangi gelapnya malam. Walau aku bulan, aku benci kegelapan. Maka dari itu, aku ingin berdampingan dengan matahari, karena terang rembulan dan bintang aja gak cukup untuk mengubah sebuah malam menjadi siang.

Tapi sayangnya, bulan dan bintang gak pernah dalam satu garis edar, karena takdir tidak pernah menuliskannya, Rei.

Semesta tidak mengizinkan kita untuk terus bersama.

Detik itu, tangis Reina pecah sejadi-jadinya. Ia menangis, menumpahkan semua sesak yang selama ini menghimpit dadanya. Bersamaan dengan itu, sesosok bayang laki-laki berjalan menghampiri dan memeluknya. Ia tersenyum menatap Reina, sebelum bayang itu menghilang tersapu angin yang membawanya.

“Aku ikhlas Van...” Lirihnya berusaha menahan tangis. “Makasih, karena kamu udah jadi bagian dalam hidup aku.”

“Kamu memang bulan, tapi kamu juga bintang yang jauh diatas, dan tetap menerangiku ditengah gelap. Aku bahagia bertemu kamu Van...”

Reina mengusap air matanya, lalu tersenyum menatap bintang yang paling terang diantara ribuan bintanng lainnya.

“Makasih, cowok nyebelin. Karena tanpa kamu, kisah kita tidak akan pernah terukir.”

***

Hallo guyss

Gimana sama part kali ini?:)

Satu part lagi untuk prolog dan itu surat dari Devan. Semoga kalian bacanya gak sedih ya:)

Maaf karena aku menghadirkan ending yang seperti ini🤧

Semoga kalian terima yaaa

Jangan lupa vote dan komen ceritanya

Bentar lagi kita akan berpisah🤧🤧🤧

Sedih banget authorr:)

Tapi disatu sisi author juga senang akhirnya bisa menamatkan cerita ini:)

Bye Minna:)

Sampai bertemu dipart penutupan✨


DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang