Bagian 20-Bahagia yang mulai muncul

708 91 0
                                    

"Belajar dari masa lalu untuk dijadikan pelajaran dan memperbaiki diri dimasa depan. "




Sesuai dengan rencana, malam ini Intan dan ketiga putranya berkumpul di halaman belakang rumah. Mengadakan acara camping atas kemauan wanita paru baya itu sebelumnya. Fero dan Devan mencari kayu bakar, sedangkan Gino tengah menyiapkan tenda bersama Bram—supir yang berkerja di rumah mereka. Sementara Intan menyiapkan makanan bersama dengan Bi Anggis.

Acara camping malam ini benar-benar ingin di buat semeriah mungkin. Karena ini merupakan moment yang tidak akan pernah Intan lupakan selamanya.

"Muka lo kenapa? Berantem lagi?" tanya Fero saat sadar ada sedikit lebam di wajah adiknya.

Mendengar itu, Gino langsung menoleh, namun tak berniat mengatakan apapun yang nantinya akan memancing keributan antara dia dan juga Devan.

"Bukan urusan lo," balas Devan dingin, tanpa menoleh, sibuk memungut beberapa kayu bakar yang ia temui.

Fero hanya diam. Jika terus dilanjutkan, yang ada malah makin kacau. Ia tak mau merusak acara yang sudah Ibunya persiapkan dengan susah payah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 malam. Mereka semua berkumpul untuk memulai acara camping yang sudah mereka susun sejak tadi sore.

Intan tersenyum bahagia karena dapat merasakan kembali moment kebersaaman ini dalam hidupnya. Ia sungguh bersyukur karena Tuhan masih memberikan mereka kesempatan untuk berkumpul seperti dulu lagi. Walau tanpa adanya Ikmal.

"Woy itu daging gue anjirr!" Fero mengumpat saat Gino datang dan langsung menyerobot daging matang yang sudah susah payah ia bakar.

"Enak aja, daging gue kalik!" balas Gino ketus, melahap dagingnya dengan penuh nikmat.

"Ngeselin lo!" Lantas, Fero mengambil potongan daging lainnya dari wadah, membakar dan menunggunya hingga matang.

"Tapi serius daging ini punya gue. Gue udah dari tadi bakar tuh daging!"

"Serah lu dah!" Kemudian, keduanya menatap Bram curiga saat melihat pria itu tengah melahap daging matang sambil senyum-senyum seperti tengah menahan tawa. "Kayaknya gue tahu deh siapa yang udah makan daging satunya."

Gino dan Fero beradu pandangan, mengangguk setelah keduanya sadar bahwa Bram lah si pelaku pencurian daging tersebut. Keduanya langsung bergegas menghampiri Bram dan menyilangkan kedua tangan didepan dada.

"Oh, jadi ini orang yang udah seenaknya ambil daging diam-diam?" sindir Fero membuat Bram nyengir dengan mulut penuh.

"Ngaku lo, Bram," seru Gino.

Umur Bram dan keduanya terpaut tidak jauh, hanya berkisar lima tahun saja. Hal itu lah yang membuat Devan, Gino, dan juga Fero memanggil Bram dengan nama panggilannya langsung.

Bram yang ketahuan hanya terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehehe, maaf tuan. Saya khilaf."

"Oh, sini lo ya!" Fero menghampiri Bram dan menjepitkan lehernya di lipatan tangan hingga laki-laki itu mengadu kesakitan.

"Am-ampun tuan Fero, tolong lepaskan saya," pinta Bram dengan napas tersendat.

"Rasain lo Bram! Hahaha!" Fero tertawa puas, sedangkan Bram terus berontak untuk melepaskan tangan Fero yang membelit lehernya.

Senyum tipis terukir di bibir Gino. Entah mengapa, ada rasa rindu yang perlahan-lahan menjalar merasuki hatinya. Rasa yang dulu pernah ada, kemudian berubah menjadi rasa yang paling ia benci. Namun, hari ini, rasa itu kembali hadir. Rasa dimana hatinya menghangat melihat keluarga kecil yang ia idam-idamkan selama ini kembali bersatu. Walau tanpa adanya sosok sang ayah.

DEVANO (Selesai)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang